CIPRAT

Pagi masih berselimut kabut. Lereng Slamet terguyur hujan semalaman. Rupanya masih ingin menambah lagi. Selokan hampir tumpah kelihatannya. Sampah-sampah berjubel iringi arus air. Sampah plastik dan dedaun  nampaknya masih belum ada pengelolaan. Apakah ini karena kurangnya sosialisasi tentang lingkungan yang sehat dari Dinas Kesehatan atau warga yang cuek dengan lingkungan. Hal sepele tapi tak sedikit membawa bencana, banjir misal.

Siang aku harus berjumpa dengan dosen pembimbing skripsiku. Yang pasti sebendel kertas ini harus beliau ACC supaya besok aku bisa mendaftar wisuda. Semua berkas sudah siap. Satu langkah lagi. Menggandakan skripsi, minta tanda tangan dan distribusi, wakaf jerih payahku ini. Ya, seratus halaman inilah yang mengantarkanku untuk meraih gelar sarjana. Mudah-mudahan tantangan selama mengerjakannya menjadikan ibrah tersendiri untukku.Umi, Abi, aku akan segera diwisuda. Bismillah, terimakasih do’a-do’a dalam sujud panjangmu, mudah-mudahan barokah ilmuku.

Sekarang tinggal pengabdian kepada orangtuaku juga orang disekelilingku. Hadiah terindah untuknya yakni memberangkatkan mereka ke tanah suci, berhaji. Ya, itu impianku. Mudah-mudahan esok limpahan rizki-Nya penuhi inginku.

Jangka pendek setelah wisuda mempersembahkan menantu shaleh untuknya. Tapi apakah aku yang harus mempersembahkan. Atau mereka yang memilihkannya untukku? Bukankah tugas mereka setelah anak sudah cukup usia, hanya berkewajiban menikahkan? Jika memang kondisinya memungkinkan, menghadiahkan untuk mereka, kenapa enggak. Tapi jika memang mereka telah mempersiapkan, tak ada alasan untuk menampik gagasan.

Aku nggak berani dengan pilihanku. Biarlah masa lalu itu cukup untuk aku yang dahulu. Masa sulit yang sangat jahil. Kala terlampau asik lalui dunia dengan dia yang kini telah jauh lantaran menikah dengan gadis pilihannya. Sakit memang. Harus berpisah dengan orang yang dicinta. Orang yang setelah sekian waktu mengisi canda juga tawa akhirnya menjadikan tangis yang belum jua reda. Sungguh, sayatan-sayatan itu masih terasa. Apa lagi saat ia sampaikan hajatnya untuk beralih pada hati yang lain. Tapi aku berusaha untuk menerima meski ridha masih jauh terasa.

Pada akhirnya undangan itu datang, undangan pernikahan mereka. Sakit, sakit sekali rasanya. Air mata tak terhitung berapa yang telah jatuh. Rintihan lara itu Allah jua yang tahu. Hanya Dia dan aku saja yang tahu, semoga. Cukup, dan itu saja yang aku rasakan. Meski waktu-waktu lain masih sempat komunikasi dan tak sengaja berjumpa, itu tak dikehendaki. Tak kuat rasanya menatap. Memilih untuk pergi menjadi hal yang dirasa bijak.

Titik air mata tak mampu hapuskan duka. Terlalu lelah untuk mencinta, mengenang dan mengutuk diri. Aku hanya bisa bertobat dengan apa-apa yang seharusnya tidak terjadi. Mencoba memperbaiki diri dengan membunuh kenangan yang menjadikan pahit jalani hidup.

Putus asa yang kadang meyambangi, tak cukup sekian waktu menguburnya. Demikian dalamkah atau hanya perasaan yang melebaykan? Entah lah, yang pasti itu masih membayang jelas di pelupuk mata. Janjinya yang dulu telah pias tersapu.

Berat memang hadapi kenyataan yang seperti ini. Aku pun masih yakin jika suatu ketika aku bisa bangkit kembali, meski melawan arus yang kadang deras menimpa. Atau bahkan ikuti arus semau ia bermuara. Berharap esok akan ada penyejuk hati yang teduh kala memandangnya, dan aku bisa menjadi pasangan yang sholehah nan setia.

---“-*...*-“---

Pukul 09.00 WIB jarum jam tanganku. Naiki lantai tiga gedung pusat, menuju salah satu ruangan dosen umtuk serahkan satu bendel skripsi karyaku. Ruangannya lengang, hanya satu karyawan yang sibuk dengan berkas dan pena di jemari tangannya.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumussalam warohmatulloh wabarokatuh”

“Mau serahkan ini bu”

“Ya, taro aja di meja, ntar aku sampaikan”

“Syukron”

“Ya”

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumussalam”

Hmm, semua sibuk. Ya, aku tahu itu. Terima kasih silahkan lanjutkan pekerjaanmu. Hehehe... paling nggak, tak perlu bertele-tele jika harus bertemu dengan dosen yang satu ini. Karena biasanya harus ada tema lain yang harus dibahas sebelum utarakan maksud dan tujuan. Paling kurang asik kalau tema agenda setelah wisuda. Hmm, akan membahas jauh tentang pernikahan dan tetek mbengeknya yang membuatku tertohok. Hehehehe, tak apa sih. Tapi jadi kaku aja.
Satu langkah dari pintu, hape bunyi. Ada satu pesan masuk dari nomor baru.

“Assalamu’alaikum, ukhti Dera. Hari ini teman-teman mau taziah. Anti ikut?”

Sepontan aku jawab,

“Taziah? Ke mana?”

“Ke Banjarsari”

“Tempat siapa”

“Daerah ukhti Arel”

“Inna lillah, siapa yang meninggal?”

“Ingat saat kita kondangan bulan September tahun kemaren disana? ‘Afwan ukh baru kasih kabar”

“Syukron”

Hilang rasanya penopang tubuh ini. Astaghfirullohaladzim. Innalillahi wa inna ilaihi ro’jiun. Benarkah? Dia kah? Ya Robbi, kenapa secepat itu? Bukan, bukan dia. Astaghfiruloh.

---“-*...*-“---

Bendera kuning melabai-lambai di tepi jalan. Kendaraan antri berprkir. Seragam hitam putih memenuhi rumah dan halaman. Aku dan beberapa teman yang lain mulai membaur dengan tamu yang lain. Isak tangis sesekali terseguk. Ruang tamu sangat ramai. Raga yang terbujur kaku itu istrinya. Innalillah. Demikian rencanaNya.

Di pojokan sana, terlihat suaminya sendu dikuatkan sahabat-sahabatnya. Di ruang tengah, ibu, bapak mereka berkumpul bersama keluarga yang lain. Beberapa saudara mulai persiapkan apa-apa yang hendak dibawa kala pemakaman.

Jantung ini  berdentum keras kala tahu bahwa ia berpulang dengan menghadiahkan putri buah cinta mereka. Masya Alloh. Dimana dia? Dengan siapa nantinya? Robby, haruskah demikian cerita hidup ini?

Sesekali menatapnya, muka sendu masih tergambar jelas. Koko putihnya tak memberikan ketegaran, sama sekali.

----"-*...*-"----

Menyemut. Hitam-putih menuju pemakaman. Jalan setapak itu penuh dengan jejak kaki mereka. Aku ada dalam kerumunan itu. Langkahkan kaki menuju sejejer nisan sebagai penghormatan terakhirku.

"Padahal dia sangat ramah dan dekat dengan kami"

"Dia guru ngaji anak-anak"

"Dia guru les anakku"

"Dia pendiri dan pengelolai pengajian ibu-ibu"

"Dia anak yang shaleh, insya alloh"

Begitu mereka mengenangnya. Mungkin ini beberapa serangkaian alasan kenapa suami memilihnya. Atau bahkan suaminya akan mengatakan hal serupa atau dia akan mengatakan, "Dia istri yang baik yang pernah aku punya." Entah lah, aku pun tak begitu dekat dengannya. Yang pasti,dia rival yang santun. Ya, sangat santun, anggun dan toleran. Ingat dulu kala kami dihadapkan pada keegoan dan kesemrawutan pikir. Menentukan dan menetapkan perkara yang tak ubahnya bola salju, makin lama persoalan makin menjadi.Ketika menentukan siapa-siapa yang hendak mengikhlaskan untuk dipersunting suaminya dahulu. Ya, dia yang sekian tahun mengenal dan bersabar meghadapi Mas Afi, hampir saja melepasnya untukku. Meski aku sadari betul, tak etis harus masuk dala kisah mereka. Alhamdulillah, semua baikbaik saja setelah istikharoh kami jalani dan berbagai pertimbangan yang matang. Jeda sekian waktu pun mereka menikah. Dan sekarang, aku masih belum bisa menerka mengapa dia berpulang.

Aku masih yakin sepenuhnya kalau ini adalah bagian dari sekenario Tuhan yang tidak ada sesosok makhluk pun tahu akan rahasianya. Bukankah usia, jodoh dan rizki itu ketetapannya? Seperti dalam ayatNya, 

"Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan RIZKI kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkanya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya" (QS. Al Isra: 30).  

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita yang-wanita yang keji (pula), wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (pula)." (QS. An Nur: 26) 

"Dan tidak ada seseorang pun yang bisa menangguhkan kematian" Jadi ketika orang telah sampai pada batas perjanjian dengan Tuhan. Dia akan kembali dalam kondisi apapun dan dimanapun.

Begitu agamaku mengajarkan. Aku yakin sepenuhnya. Disamping sebagai umat yang taat, aku pun mampu merasakan kalau itu logis. Meski kala terpuruk akan menjadikan diri bertanya dan terus bertanya, "mengapa?" Ya itu kehendak-Nya. Itu yang terbaik menurut-Nya. Dan dalam salah satu ayat kitab suci agamaku pun menyatakan, "Bisa jadi apa-apa yang kamu suka itu tidak baik menurut Tuhanmu dan bisa jadi apa-apa yang menurutmu buruk itu justru yang terbaik menurut Tuhanmu."

Senantiasa berpikir positif, kalau apa-apa yang kita alami, kita jalani dan kita rasakan sekarang adalah yang terbaik untuk kita. Berucap syukur, "Alhamdulillah" sebagai apresiasi total dengan ketetapan Tuhan pun menjadi hal yang harus.

----"-*...*-"----

Gundukan merah itu masih basah oleh sekendi air. Warna-warni kelopak kembang diatasnya juga nisan itu sebagai bukti penghuni baru di pemakaman. Air satu kendi dan bunga-bunga itu masih menjadikan tanya, kenapa harus demikian? Apa tidak ada benda lain yang layak diletakan diatas gundukan tanah merah itu? Bukankah batu sebagai tanda bahwa itu makam saja sudah cukup. Seperti anjuran Nabi Muhammad SAW yang menghendaki pemakaman yang biasa saja yang diratakan sejajar dengan lapisan tanah yang lain, hanya saja ada tanda kalau disitu adalah pemakaman. Entah lah, tradisi masih kaku dan butuh sentuhan lembut supaya lurus. Entah lah, terlepas dari itu semua, isak tangis masih terdengar.

----"-*...*-"----

Sepulang dari pemakaman, pikiran itu masih bergelut. Kenapa jadi kepikiran mereka? Toh nggak ada kewajibanku melekat disana. Aku hanya merasa simpati saja mungkin. Atau kasihan dengan putri mereka. Atau cinta itu masih benar-benar ada. Masya Alloh. Aku hanya bisa terawang. Meliuk di perempatan masa. Ya, aku masih sakit. Sakit dengan keputusan lalu.]

Iedul Kurban

Air hujan masih menetes dengan derasnya. Titis-titis itulah yang diharapkan kala air tak lagi muncul alirannya. Meski kadang tak sedikit yang mengumpat karena bepergian tak bawa payung atau bahkan cucian yang sedari kemarin belum sempat dibilas. Banyak cara manusia menghadapi hujan. Bagaimana denganku?

Aku selalu suka dengan hadirnya. Ingatkan ketika berjalan di jalan setapak susuri rerimbun pepohonan. Di bawah daun talas lebar itu merinding kedinginan. Meski sambaran petir yang berkilat-kilat dilangit ingatkan untuk sekedar istirahat sebentar, tak jua dihiraukan. Air selokan demikian mempesona, mengajak dan membujuk untuk dilalui. Sesekali terpeleset, tapi tak membuat kapok. Perjalanan panjang pun menjadi singkat. Basah kuyup itu sisipkan bahagia meski tanpa ayah-bunda.

Aku Yatim. Ya, aku yatim, yatim piatu. Tanpa ayah, tanpa ibu. Mereka yang seharusnya ada bersamaku. Membesarknku, mendidikku, mengarahkanku, menyayangiku dan habiskan waktu denganku. Tapi semua itu tidak aku dapat hingga detik ini. Aku hanya bisa teriris perih kala saksikan teman-temanku berkrumun bersama keluarganya. Aku hanya sendiri. Ya, sendiri. Eyang utie dan eyang kung yang sedari dulu bersamaku telah kembali pada Sang Kuasa. Aku sandarkan hidupku dengan membesarkan kambing mereka. Ya, aku hanya pencari rumput untuk makan kambing. Bangku sekolah tak lagi aku dapati setelah SD aku lalui. Meski demikian, sepotong kain sarung dan topi putih itu akan melekat di lima waktu ibadahku. Hanya itu kiranya bisa sembuhkan lara yang menimpaku.

Aku hidup dari kambing. Kambing yang sedikit, kambing yang aku elu-elukan. Meski ketika kebutuhan menjepit, harus aku relakan ia bersama orang lain. Oh, aku nggak bisa berandai jika aku punya kakak kambing, sapi semisal. Huh, aku lebih paham tentang kambing. Hanya kambing yang bisa aku pahami. Sekiranya aku bisa punya kehebatan lain. Ah, berandai itu tak baik. Baiknya itu berusaha dan terus berusaha sembari berdo'a. Ya, harapan itu masih ada. Meski takbimbang memang. Ketika kami, orang kecil bekerja dengan keringat yang bercucuran tapi sedikit pemasukan, tapi mereka yang sedikit bekerja malah mendapatkan pemasukan yang lebih. Apa yang salah dengan kami?

Teman-teman tahu, kalau musim hujan begini kasihan si  kambing. Bukan hanya bulunya yang tipis dan enggan menghangatkan kulit tapi juga rasa rumput yang tak lagi lezat. Beda kalau musim kering yang demikian wah kala menjumpai rumput segar. Dan itu pun menyusahkan pencari rumpun sepertiku. Eh, jadi kebanyakan cerita nih. Yang pasti saat-saat indah itu kala iedul kurban menjelang. Disamping banyak pemburu kambing, harganya pun merangkak naik.

Aku bahagia, bisa menyuguhkan yang terbaik di moment seperti ini. Kambingku akan lebih gemuk dan menawan. Jadi siapa pun akan jatuh cinta padanya. Aku tak akan mematok harga, silahkan mereka saja, calon pembeli yang tentukan. Aku hanya akan mengiyakan ketika ia mau mengapresiasi karya terbaikku dalam merawat si baby kambing hingga siap untuk dikurbankan.

Kadang aku merasa punya ikatan batin dengan kambingku. Dia mengembek kala dituntun pembeli pun serasa ucapkan salam perpisahan dan terima kasih padaku. Ah, terlampau menyedihkan. Tapi aku ikhlas, insya alloh. Mungkin dan teramat mungkin, kala golok menempel di lehernya pun dia akan bertakbir layaknya manusia bertakbir pada Sang Maha Kuasa.

"Allohu akbar... Allohu akbar... Allohu akbar... la illaha ilallohu Allohu Akbar... Allohu Akbar wa lila hilham"

Semangat berkurban dari mereka kaum muslim yang mampu mudah-mudahan bukan hanya di moment idul adha saja. Tapi rela berkurban apa pun, waktu, harta, ilmu, dlsb untuk umat lain yang benar-benar membutuhkan uluran jemari mereka.

Menggandeng Waktu


Rintik hujan masih basahi dedaunan. Menetes dan terus menetesi bumi. Kicau burung-burung sambut pagi. Mentari masih belum muncul meski di timur sana cahaya merah mulai terlihat. Hawa dingin menyusup pori. Aktivitas masih belum mulai berdesak.

Hari terlampau pagi untuk bergegas rapi. Perkuliahan baru akan dimulai jam delapan, sedang jarak kampus dan kos-kosan tak terlampau jauh ditempuh. Aku masih menikmati teh manis panas sebagai menu awal sebelum bersantap pagi. Ya, hangatnya akan memacu syaraf lebih peka berkontraksi. Yang pasti, energi akan terakumulasi lebih tinggi dan sebagai penghangat diri sebelum jalani aktivitas hari ini.

Deru motor mengalun lembut. Seseorang mendekati pintu sembari bertutur salam. Tika, teman satu kos yang kebetulan menemuinya. Ah, Aku sendiri nggak mau urusan dengan siapa yang hadir. Masih duduk tenang nikmati secangkir teh di bangku depan jendela.

“Mba, ada titipan nih”
“Oh ya? Dari siapa de?”
“Kurang paham lho. Tika buka ya?”
“Eits, jangan merampas yang bukan haknya lho ya”
“Hmmm... Halus tapi menohok”
"Maaf deh"
"Hmm"

Ayunan yang tepat. Kini bungkusan kecil merah jambu itu beralih tangan. Manis dan teramat rapi, meski nggak ada identitas pengirim yang tercantum. Menggelitik untuk segera dibuka. Lagian, siapa juga bela-belain anterin benda kayak gini di pagi buta, gerimis-gerimis pula. Ah, nggak perlu banyak spekulasi.

Masih di muka jendela. Aku buka kertas pembungkusnya. Kau tahu apa isinya? Sekilas sampulnya berupa kertas, bergambar dan tertuliskan, “Pudarnya Pesona Cleopatra” karya kang Abik, Habiburrahman El Shirazy. Penulis terkenal alumni Mesir. Menarik. Tau aja kesukaanku. Tapi aneh aja, belum terlihat identitas pengirim.

“Ika, tadi yang nganter siapa ya?”
“Kok baru nanya sih mba?”
“Siapa koh?”
“Haduh, kasih tau kaga ya?”
“Hmm, kasih tahu lah”
“Boleh, tapi bersyarat”
“Apa?”
“Nicip tehnya”
“Ya”
Sejurus kemudian Tika nongol,

“Tika minum dulu ya?”
Setelah meneguk dan menghabiskan isi gelas, baru mulai bercerita.

“Tadi itu mas-mas yang sama sekali belum pernah Tika kenal. Dia lumayan ganteng sih. Tinggi dan punya lesung pipit. Senyumnya manis lho”
“Lajeng, kula kedah matur, wowww ngaten?”
“Bentar dulu”
“Jangan lama-lama”
“Iya...iya... dia itu namanya... namanya... tukang pos. ahahahaha”
 “Tikaa...”
Sembari berlari mencoba mengejar Tika, bertanya-tanya juga. Ah, siapa ya?

Hujan mulai reda. Waktu telah beranjak. Sepuluh menit lagi perkuliahan dimulai. Kursi mulai penuh. Daun pintu mulai berderik, sebentar lagi ya, aku masih asik dengan rangkaian kata yang berderet mengajakku untuk terus dan terus telusuri. Ceritnya demikian menyentuh. Kisah pemuda yang hidup dalam kehendak orang tua. Menikah dengan Perempuan Jawa tapi masih belum seutuhnya cinta. Masih inginkan sosok-sosok yang lain. Yang lebih wah, seperti ratu padang pasir (Cleopatra). Hingga akhirnya, kala mulai tumbuh benih-benih cinta dan kerinduan yang mendalam, si perempuan dipanggil Sang Maha Kuasa. Tak boleh sesal diucap, tak perlu lagi tangis diguyurkan. Tapi itu lah jalan mereka. Nilai kehidupan yang bisa diambil, bagaimana kita mensyukuri apa-apa yang menjadi hak kita. Melakukan yang terbaik untuk orang lain meski pada awalnya pahit sebelum sesal menyapa.

Pagi berikutnya datang menyapa. Kali ini bingkisan merah marun itu teronggok di meja belajarku. Dengan pertanyaan yang sama seperti pagi kemarin. Lagi-lagi nggak terlihat identitas si pengirim. Tidak ada tanda lagi. Aneh aja.

Aku buka bingkisan itu. Buku berjudul "Cinta Laki-Laki Bisa" karya Asma Nadia. Kamu tahu Asma Nadia? Dia penulis cerpen juga novel terkenal di dunia pena. Ceritanya mengalun apik dengan kemasan bahasa yang unik. Biasanya demikian. Entah dengan buku yang ada di tanganku kini.

Masih akan terus bertanya dan mencari kode yang barang kali nantinya mampu memberi jalan untuk dapatkan inisial sekalipun. Hah !!! masya Alloh. Isbir... isbir ukhty... hmmm... Dialamatkan padaku, berarti dia memang mengenalku. Siapa ya?

“Dapat bingkisan dari siapa lagi mbak?”
“Masih seperti yang kemarin de”
“Oh ya?”
“Hmm... sampai kapan ya main ngumpet kayak gini terus?”
“Sampai... terdeteksi pastinya.”
“Iya de, esok pasti aku tahu siapa dia”
“Kalau udah tahu, kabari ya mbak”
“Apa ruginya kalau nggak?”
“Eh, itu juga kalau berkenan, hihihi”
“Hmm, kamu ini”

Hujan turun lagi. Ba’da asar, niat hati kerjakan tugas kuliah untuk lusa pun teralihkan untuk membaca buku yang dia kirim. Ya, ceritanya gampang diikuti, renyah dan menyentuh. Fiktif tapi terasa nyatanya. Manis sekali. Sayangnya, aku belum tahu siapa si pengirim buku-buku ini. Aku tak bisa menerka mereka-mereka yang tahu betul kesukaanku. Ah, mubah rasanya jika buku-buku ini nggak digandeng untuk turut serta nampangkan di privat library.

Kali ini menceritakan sepasang mahasiswa yang berprestasi, Jurusan Kedokteran. Mereka saling saling mencinta satu sama lain. Mereka mengambil keputusan untuk menikah, takut terjerembab dalam jurang nista, dalihnya. Pada awalnya mereka direstui, meski setelah diketahui perbedaan strata sosial menjadikan mereka tak dibolehkan bersama. Si perempuan adalah wanita cantik yang cerdas, nan shalehah juga berasal dari keluarga kaya, sedang laki-lakinya itu orang biasa, berasal dari keluarga biasa-biasa saja, dengan penampilan dan prestasi yang biasa-biasa saja. Demikian suci alunan cinta mereka, bertahan dalam ketidak pastian. Ketika alasan yang tak logis orang tua, tidak menikahkan hanya karena beda strata, mereka putuskan untuk menikah tanpa dihadiri kedua belah keluarga. Mereka akhirnya bersama meski harus pergi dari rumah keduanya. Membangun hidup dari sedikit uang dan tak punya tempat tinggal. Dan itu semua yang mengantarkan mereka pada kesuksesan, menjadi LULUSAN TERBAIK fakultas. Dalam kesulitannya, mereka bermunajat kepada Alloh, berusaha penuhi hidup dengan hak yang halal dan kebaikan. Menghadapi semua kesulitan berdua dengan cinta dan kasih sayang. Manisnya..."-*...

Kesetiaan, rela berkorban, kerja keras, sling berkasih sayang, rasa bersyukur yang demikian dalam, itulah yang menjadi tauladan dalam kisah manis mereka. Cerita berahir happy. Ya, seperti apa-apa yang manusia impikan yakni bahagia.

“Assalamu’alaikum”

Pesan itu masuk dalam ponselku. Nomor baru dominan delapan. Biasanya aku cuek dengan pesan tak beridentitas macam itu. Masih ada aktivitas lain selain berolah jari membalas pesan yang kurang penting. Sekilas, me-non aktifkan dan segera siapkan shalat magrib.

Dalam sujud panjang, terlantun do’a agar Allah senantiasa limpahkan kesabaran yang sangat untuk senantiasa langkahkan kaki di jalanNya yang lurus. Lakukan segala sesuatu hanya untuk mendapat ridhanya. Agar senantiasa dalam lindungannya juga kasih sayangnya.


Rasanya ada pesan lain dari teman-teman se kelas untuk penelitian. Cuek aja dengan pesan-pesan tak beridentiti. Kenapa harus terbawa emosi negatif? Mending diaktifkan lagi.
Satu pesan masuk,

“Assalamu’alaikum, dinda. Ini akang”

Hanya ada satu orang yang menyapaku demikian.

“Bagaimana kabar?”

Masih aku biarkan pesan itu menyapa. Masih sesak terasa jika harus kembali berkomunikasi dan bertegur, meski jarak jauh.

“Kemana alur ukhuwah kita jika tak satu pun respon dari dinda? Maafkan akang”

Astaghfirulloh. Makin sulitkah senyum itu kala sadar kalau kehidupan ini keras. Sekeras hati pertahankan ego yang kian memuncak. Maaf yang masih belum terijabah. Oh, sekuat apakah prinsip yang dahulu dipertahankan?

“Dinda, maafkan akang. Maafkan jika demikian sering menyakiti. Maafkan diri yang penuh khilaf ini.”

Makin perih rasanya. Cerita lalu memang teramat pahit untuk dikenang. Dan setelah sekian bulan terkemas rapat, kini ia akan merobeknya kembali?

“Dinda....”

Masih nggak ingin menanggapi. Biarkan mengiba. Aku nggak ingin suasana hati terkoyak kembali, sakit dan terpuruk lagi. Aku nggak ingin cerita hidup lebih menyedihkan dan memprihatinkan. Robby, berilah petunjukMu.

Adzan berkumandang, sejurus aku ambil wudhu. Bersiap mengadu padaNya. Sungguh berat aral yang menghadang. Akankah ini yang menjadi jalan yang Engkau pilihkan? Harus bagaimana hamba jalani ya Robb? Ketika enggan lagi komunikasi, itu sudah sedikit mengurangi resah ini.

Ponsel masih tenang tak berdering. Baterai dan kartu sim itu masih berjajar di atas diktat kuliahku. Biar mati saja. Asal lebih tenang. Lebih fokus dengan apa-apa yang realistis dan lebih menyenangkan jalani hidup. Enggan lagi terteror dengan permainan konyol sekenarionya. Bukankah kemarin aku terlalu banyak menjadi lakon dan sekarang tak lagi. Kesannya, iya ayo aja. Sekarang harus jadi sutradara yang lebih hati-hati dalam mengatur penokoh juga karakter yang harus dijalankan.

Tugas hampir usai. Jarum jam menunjukan pukul sepuluh malam. Setelah ini harus siapkan materi kuliah untuk esok. Minimal baca terlebih dahulu sebelum hadir di ruangan. Siap ajukan pertanyaan dan memberikan tambahan atau gagasan yang oke.

Konsentrasiku muai pudar. Tergoda untuk merakit kembali ponsel yang sedari tadi melambai-lambai. Apakah tindakan keliru jika balas semua pesannya. Aku rasa bukan keliru tapi menyalahi etika atau nggak. Ah, sama aja.

Masih berpikir etis atau nggaknya. Rupanya karang ego masih kokoh. Bukankah sekeras-kerasnya karang pada akhirnya juga akan runtuh diterpa gelombang? Karang yang dimana? Di pesisir pantai? Huh, itu statement yang kurang bijak jika dilontar dalam kondisi semacam ini.

Seberapa banyak perbandingan kebaikan dan keburukannya hingga membuatmu sekeras ini hah? Tak ingat kah kala dia perhatian dan penuhi beberapa inginanmu yang logis itu? Telah hilang kah memori indah dalam benakmu?

Dia? Dia mana yang engkau maksudkan? Dia yang dengan mudah memilih orang lain untuk bersanding di pelaminan? Dia yang kini bersuka cita ayuh bahteranya? Dia yang rela hati serahkan diri ini pada orang lain? Dia yang enggan sampaikan apa-apa yang ia pertimbangkan sebelum diambil keputusan final? Dia-dia-dia, bagiku dia telah pergi untuk selamanya!!

Perang batin itu terus berlanjut. Apakah nurani dan perasaan yang saling beradu? Atau bahkan logika dan perasaan yang saling bersikukuh dalam pendirian mereka masing-masing? Entah lah, aku pun masih terombang ambing.

Kalap yang jadikan diri berlari temui gemrecik air untuk dibasuhkan pada anggota wudhuku. Kiranya lebih tenang lagi dengan tunaikan dua rokaat shalat. Setelah itu mulai sembunyikan raga dibawah selimut hangatku. Ya, satu-satunya benda yang mampu tenangkan dalam musim hujan dan gerah yang sesekali melanda.

“Selamat pagi mbaku yang cantik”
“Pagi adeku yang manis”

Uma, membawa secangkir teh manis bersama sepiring nasi goreng.

“Hmm, nikmatnya. Buat siapa nih?”
“Buat aku dan mbaku yang lagi GaBer”
“GaBer, apa tuh?”
“Galau Berat, hehehehe”
“Hmm, apa nggak sebaliknya nih?”
“Ye... nggak ngaku pula. Udah sini, nicip nasgor buatanku”

Bersantap nikmati pagi yang cerah. Mudah-mudahan cerah juga jalam berpikirku. Aku sendiri belum rapikan diri. Masih ingin lama-lama menatap lembar kertas untuk menyusun latar belakang pengajuan judul skripsi. Ya, semester tua hampir tak lagi dirasa. Ingin segera lari tinggalkan kota Satria.

“Sedari pagi, belum ada bingkisan ya?”
“Emang harus dikirim tiap hari?”
“Tau...”
“Aneh juga ya de, kira-kira kamu tahu siapa?”
“Mbak tuh yang lebih aneh, ckckckckck. Resiko memang, resiko orang cantik jadi banyak fansnya.”
“Ah, bisa aja”

“Ara..., ada yang calling kamu nih”
Linlin dari tempat nyetrika mulai bergaduh.
“Iya... iya.. bentar. Angkat aja dulu”
“Nggak ah, nggak pengen tuh”
“Hmm, tolong deh”
“Ogah lah”

“Angkat gih mba, siapa tahu fee artikel atau cerpen yang dimuat dari surat kabar”
“Betul juga de, moga aja”

Berjalan menuju stop kontak. Aih, nomor tak dikenal.

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam wrwb”

Suara itu nggak asing. Dia yang dua bulan lalu bercakap denganku. Ya, dia, benar, dia lah yang sempatkan bersantap sahur di pagi buta di warung dekat kos-kosan. Dia yang berpamit hendak berlayar. Arungi samudra kehidupan. Degup jantung ini mulai berdebum. Masya Alloh, seharusnya tidak aku angkat. Robby, bagaimana ini?

“Dinda, bagaimana kabarnya?”

Err, masih lembut tuturnya. Meski tak selembut apa-apa yang sudah ia lakukan padaku. Tergagap ucapkan,

“Alhamdulillah sehat”
“Maafkan akang. Akang nggak bermaksud...”
“Sudah lah, nggak perlu dibahas. Aku kira masih banyak aktivitas lain yang menungguku pagi ini”
“Aku mohon, dengarkan aku. Sebentar saja”
“Apa masih ada yang perlu dibicarakan setelah semuanya berakhir?”
“Dinda, apakah kita akan menjadi kawan atau lawan?”
“Cukup, aku rasa cukup semua itu terjadi. Jangan kita perpanjang. Dan memang ini tidak adil. Jangan hubungi ana lagi. Assalamu’alaikum”

Mulai berkaca rasanya. Aku tak ingin mereka saksikan tetes air mata ini. Kamar menjadi tempat kontemplasi yang cocok kala dipeluk duka. Duduk mematung didepan cermin. Bertanya dan saksikan mata yang mulai memerah.

Semua tidak perlu terjadi jika hati ini tidak maafkan ia kala itu. Jika hati ini tak suka lagi padanya. Jika peristiwa-peristiwa itu tidak menyambangi. Jika ia tidak
temukan kunci yang telah menutup erat pintu-pintu hati. Semua telah hancur dan kini hanya sesal yang bergelayut. Tanya mengapa pun bukan menjadi penawar yang menentramkan. Semua berubah menjadi benci dan murka yang demikian dalam.

“Dinda, ana ingin bertemu. Ana ingin sampaikan sesuatu yang tidak mungkin disampaikan melalui perantara. Kapan ada waktu?”

Pesan itu muncul kembali.

“Nggak akan pernah ada waktu untuk itu”

Kadang tak tega berlama-lama sisipkan marah dan membiarkannya. Hah, perasaan mulai mendominasi.

“Apa dinda akan memutuskan ukhuwah diantara kita?”
“Mengapa beranggapan demikian?”
“Dengan sikap dinda yang demikian, dengan tidak lagi mau memaafkan, dengan apatis yang sekarang ada”
“Mungkin karakterku yang sesungguhnya. Hidup ini demikian keras menempa hingga membentukku demikian. Aku juga tak begitu paham dengan egomu yang tega mencampakan”
“Dinda, mengertilah. Ini semua untuk kebaikan kita”
“Kebaikan mana yang antum maksudkan?”
“Ketika mengurai cinta, ini lah cinta yang sesungguhnya”
“Sudah lah, tak perlu bahas itu”
“Dinda harus tahu”
“Nggak, silahkan cari tema lain untuk dibicarakan. Kalau hanya akan membahas itu silahkan matikan hapus nomor saya”
“Dinda, kita harus bertemu”
“Nggak akan pernah”
“Ana mohon”
“Itu akan lebih menyakiti satu sama lain”
“Meski untuk yang terakhir kalinya?”

Ketika penuhi keinginannya, bisa ditebak. Aku lah yang merugi. Ya, dengan prinsipku yang goyah, dengan ketidak konsistenanku, dengan kelemahanku, juga aku nggak ingin menjadi pemisah diantara mereka. Nggak ingin ada fitnah lantaran seseorang menyaksikan perjumpaan kami. Itu tidak akan pernah aku penuhi.

“Dinda, sudah selesaikan buku Pudarnya Pesona Cleopatra?”

Bukankah itu buku yang kemarin aku terima.

“Itu buku yang kisahnya mirip dengan apa yang aku rasakan kini. Pemeran aku melekat pada diri ini. Meski bagian-bagian awal yang sekarang aku rasakan. Bagian akhir itu sama sekali tidak aku inginkan. Aku harus memotong kisah itu, dinda.”
“Masya Alloh. Jangan menganggap alur dari cerita itu realita yang harus antum jalani. Hiduplah bahagia dengan orang yang antum pilih”
“Bukan dia yang ana pilih”
“Akang, jangan biarkan itu mempengaruhi. Itu hanya cerita fiktif yang tidak ada pelaku sesungguhnya di dunia ini. Itu fiktif belaka”
“itu realita. Itu yang aku rasakan dan itu benar-benar terjadi”
“Akang, nggak boleh menganggap demikian. Berusahalah mencinta dan menyayanginya, karena itu pilihan hidupmu”
“Dinda, dia bukan pilihanku. Ana masih berharap kita bersama”

Astaghfirulloh, jangan biarkan ini terjadi padaku. Jangan biarkan syetan mempengaruhiku. Ini jalan yang buruk. Teramat buruk untuk dilalui. Tunjukan jalan keluar ya Robb.

“Dinda, ana ingin kita berjumpa. Merangkai kembali kisah kita supaya berakhir bahagia. Dinda inginkan itu kan?”


Semua sudah terlambat. Semua sudah terjadi. Semua makin carut-marut. Ini tidak perlu berkepanjangan. Oh, demikian kah jalan yang harus hamba tempuh?
Aku masih bisa lakukan aktivitas seperti biasa. Meski perhatianku tersita padanya. Aku berusha untuk berpikir bijak, alokasikan full untuk kegiatan yang aku garap, untuk proposl pengajuan judulku.

Berganti kartu GSM supaya ia tak lagi menghubungiku pun jadi pilihan. Itu sangat mengganggu dan membuatku tak nyaman. Dia yang telah mematahkan harapanku, dia yang telah memisahkanku dari beberapa moment yang harusnya aku ikuti. Dia yang menyeretku hingga sesal itu bergelayut. Hah, kali ini tak akan aku biarkan ia muncul dalam kehidupanku kembali.

Takdir telah membuktikan. Apa-apa yang kita inginkan belum tentu diinginkan juga oleh Alllah. Apa-apa yang menurut kita baik, belum tentu baik juga menurut Allah. Inilah keputusan yang harus diterima, agar kelak apa-apa yang dijalani diridhai juga oleh Alloh. Ini bagian dari takdirNya. Ya, aku yakini itu, setelah semua upaya telah kami lakukan dan ternyata hasilnya masih juga demikian. Aku tidak punya daya apa pun untuk memaksakan kondisi-kondisi yang tak seharusnya beralur demikian hingga akhirnya kami menyerah dalam takdir.

Maaf jika syawal berikutnya aku terima pinangan dari pemuda yang dahulu sering mengisi waktu senggang kala tak kenal ungkap cinta. Restu mereka telah kami kantongi. Semoga ini lah yang memang Alloh janjikan. Kebahagiaan, ya kebahagiaan untuk masa depan.

...Dulu...


Rinai hujan mengantar ingatanku kala SMP dulu. Butir-butir bening itu lah yang temani perjalanan panjang rumah_sekolah_rumah. Ya, jarak yang memungkinkan bercengkerama dengan hujan lebih lama. Angin lebih kencang terasa kala merubah payung tak semestinya. Rusak, itu bukan soal. Berkendaraan tanpa atap atau jaz hujan akan lebih asyik. Belum lagi kalau terminal di ujung mata, itu bertanda harus susuri sepotong jalan nan panjang. Kanan - kiri diapit sawah nan luas. Dedaunan basah, selokan terisi penuh, sungai banang kecoklatan. Kala petir menyambar, terkaget sebelum ahirnya cekikik tawa ekspresi unik. Ah, main air jalanan pun jadi pilihan.

Kau ingat, Chika, Ruly, Iroh, Nur, Mamat, Lili. Masih ingat kah????
Batu-batu itu yang siap mengguyur kala berjumpa dengan lubang jalan sarat air. Tak merasa bersalah kala seragam teman kuyup tertimpa. Nggak terasa sakit kala terpeleset karena tanah yang basah. Bahkan nggak terasa capek tempuh jalan yang lumayan panjang.

Bagaimana dengan hujan kali ini????
dengan jalan itu yang kini mulai lepas dari kaitan aspal....

Malang, Teh

Pagi itu pra kuliah udah selesai disiapkan. Rapihkan diri beranjak dari rumah. Beberapa pesan yang diterima, sedikit memberi gambaran. Beberapa asumsi sempat tertepis, anggapan yang tak berdasar juga penilaian mereka.

"Mau kemana, jarum jam jauh menuju angka 6"

"Sarapan", singkatku.

Langkahkan kaki, susuri gang yang antarkan ke lokasi. Masih sepi, jalan pun lenggang. Sesampainya di sana beberapa menu baru ditata. Beberapa orang saja yang sesekali melintas di tepi jalan.

"Teh panas, bu."

Wanita paruh baya itu dengan cekatan meramu meski beberapa menu mesti ia siapkan. Menuju bangku berjejer muka jalan, mengamati kendaraan-kendaraan yang lalu lalang. Tapi masih saja belum muncul sosok pengirim pesan.

Teh datang, kebulan asapnya temani dudukku. Sesekali melongok layar ponsel, tak ada pesan. Mungkin dalam perjalanan. Pulsa yang dikirim pun tak kunjung sampai. Mungkin dengan beberapa detak jarum jam lagi ia muncul dan bisa bersantap pagi bersama. Gores-gores pena menjadi coretan tak beraturan. Mulai tak betah dan ingin beranjak.

Jarum pun terus berputar,angka tujuh hampir terlewat. Jam kuliah hampir berdentang. Malang, sosok itu pun tak jua muncul. Jalan yang kian ramai dengan roda-roda yang berlari dengan cepatnya. Dan teh pun hampir habis.

Sesegera mungkin sebrangi jalan yang masih ramai, tas sudah di pundak, ternyata waktu yang dialokasikan itu tak sedikitpun berfaedah. Terbuang dan tak didapati sesosok pun si pengirim pesan.

Gtw

Aku masih ragu memilih kata-kata untuk disusun menjadi kalimat. Kalimat itu pun kabur tak terbaca pikirku. Ah, paragraf satu pun masih sulit aku susun. Entah lah, sekedar goresan tinta pada sehelai kertas pun masih belum terlihat coretannya. 

Sudah lah, aku pun tak ingin memaksa...
lain kali aja lah ya...

...Qoriyatii...




Semburat merah di ufuk timur makin lama makin meninggi. Menghangatkan bumi dan tebarkan kebahagiaan untuk seisi alam. Pemandangan hijau membentang dari pepohonan yang berjajar diatas bukit berbaris dengan tangguhnya. Burung-burung bersiulan, bunga-bunga bermekaran, serangga beterbangan, daun-daun makin menghijau dengan klorofil dan embun yang menetes di ujungnya, gemercik air, hilir mudik ikan di kolam jernih, hmm… sepoi angin pun membelai lembut. Begitulah suasana pagi di ujung bukit permai desaku. Nampak asri meski efek globalisasi menyambangi.
Jalan hitam, mulus berkelok, tanjakan dan turunan yang masih tampak ramah, tikungan yang demikian mesra, menjadikan ciri khas tersendiri. Trek yang disayangkan jika tak disaba.
Tak usah jauh mengisi liburan. Dinding dan atap yang masih kokoh itu, cukuplah sebagai vila. Lepas penat setelah berbulan-bulan arungi hari dengan segudang aktifitas yang tak henti. Ketenangan, keindahan pemandangan yang disuguhkan, keramahan penduduk desanya, menjadikan penawar yang tepat.
Sedikit bercerita kondisi masyarakat di desaku. Sebagian besar dari mereka adalah petani. Ya, mereka menanam padi, jagung, kedelai, juga umbi-umbian. Tak sekedar bertani, mereka juga berkebun. Menanam kopi, kapolaga, kunyit-kunyitan, alba, pohon jati pun kemarin-kemarin marak digemari. Beternak pun menjadi pilihan disamping bertani dan berkebun. Sapi, kerbau, kambing, ayam, bebek, mentok, burung, ikan, masih dijumpai di sini. Beberapa dari mereka menjadi pedagang, baik dagang di luar pulau jawa ataupun dagang sembakau, membuka kios mungil untuk penuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Tukang kayu, tukang bangunan, sopir pun ada di desaku. Ada juga yang merantau di kota, baik kota besar seperti Semarang, Bandung, Bogor, Jakarta. Kebanyakan tertarik di Pulau Jawa bagian barat. Mereka ada yang sedang menuntut ilmu, mencari penghidupan ataupun mencari nafkah di sana. Beberapa guru, dokter, bidan dan perawat pun ada di desa kami. Multi profesi dan pastinya dari keberagaman ini menjadikan desa kami lebih berwarna.
Berbicara pendidikan, sebagian besar penduduk mulai sadar akan pentingnya pengenyaman bangku sekolah. Lembaga pendidikan formal berdiri megah dan lembaga non formal pun masih berjalan. Untuk lembaga pendidikan formal ada dua Sekolah Menengah Pertama (SMP), empat Sekolah Dasar (SD), Dua Madrasah Ibtidaiyah (MI), empat Taman Kanak-Kanak (TK), dua Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Adapun pendidikan non formal berupa Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) yang ada di masjid-masjid di semua grumbul di desaku. Meski keberadaan TPQ sendiri masih tersendat-sendat lantaran kekurangan tenaga pengajar yang mumpuni. Kebanyakan pengajar adalah tenaga suka rela yang masih peduli dengan anak bangsa yang haus akan agama. Harapan besar ketika ada pelatihan semacam diklat untuk memantapkan juga menambah ilmu mereka. Bahkan metode pembelajaran, sarana dan prasarana juga terkait kesejahteraan pendidik masih perlu diperhatikan demi kelancaran kegiatan belajar-mengajar.
Segi kepercayaan, penduduk desa kami sebagian besar beragama islam. Beberapa dari pendatang beragama non islam. Pengetahuan agama islam segi ilmu bisa dikatakan cukup baik, meski sebenarnya masih membutuhkan tausiyah dan bimbingan keagamaan yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW sangat dibutuhkan. Ini tak lepas dari adanya kefanatikan tentang taklid yang selama ini masih begitu kental. Taklid, Churafat, Bid’ah, Syirik sedikit terasa, ini tak lepas dari agama peninggalan leluhur terkait animisme dan dinamisme, juga agama-agama terdahulu sebelum hadirnya islam. Seperti ke hindu-hinduan, ke budha-budha’an. Jadi semacam ada percampuran dari agama-agama itu. Ke depan inginnya ada sang pencerahan yang hadir dan mampu menjernihkan, memurnikan kembali agama islam yang sebenarnya. Menyadarkan tanpa harus menentang atau bermusuhan dengan penduduk asal.
Pemerintahan di desa kami terstruktur dari Rukun Tangga (RT), Rukun Warga (RW), Kepala Dusun (Kadus) dan Kepala Desa (Kades). Perlu kawan-kawan ketahui perbedaan antara Kepala Desa dan Lurah. Lurah itu pimpinan desa yang ditunjuk oleh pemerintah dan dia itu termasuk Pegawai Negri Sipil (PNS), berbeda dengan kepala desa yang bukan diambil dari PNS tapi tetap ada kesejahteraan yang dialokasikan dari pemerintah untuknya. Siapapun pemimpin desanya, ia harus mampu menjadi pemimpin yang baik, yang profetik, yang tabligh (menyampaikan), amanah (dapat dipercaya), fatonah (cerdas), punya rasa empati, dan bertanggung jawab pastinya. Jadi tidak sekedar mau tapi juga mampu memiliki beberapa kecakapan yang sudah saya sebutkan tadi. Yang pasti kita-kita lah pewaris pimpinan umat.
Terlepas dari itu semua, aku  ingin menceritakan suatu hal penting terkait tempat tinggalku. Ya, tanah yang menopang pondasi rumah-rumah kami tak lagi kuat. Entah apa yang menjadikannya demikian. Sekiranya ada pakar geologi yang datang dan melihat langsung struktur lapisan tanah kami. Ah, mungkin itu sekedar ilusi. Toh butiran-butiran tanah itu enggan lagi menyatu.
Suatu malam, ketika rintik-rintik hujan turun, terjadi lah peristiwa itu. Kami, penduduk grumbul Karangnangka, tepatnya RT 2 RW4 dikejutkan dengaan suara bergelegar luar biasa. Awalnya kami kira itu hanya suara petir yang menyambar sesuatu. Getaran tanah dan kekhawatiran kami, terutama keluargaku yang kebetulan menempati rumah di tepi jurang.
Setelah beberapa saat kemudian, hujan reda dan kami keluar rumah. Bukan hanya penghuni rumahku, tetangga pun turut berhamburan keluar. Pemandangan luar biasa terpampang di depan mata kepala ini. Engkau tau apa yang terjadi?
Kerlip bintang gemintang bergelantung di pekat malam. Putih terpancar di selimut nan tebal menghitam. Satu terpancar bak bunga api yang menculat jauh tinggi di sana. Beberapa dari mereka membentuk pola-pola abstrak yang bisa dilukiskan menurut keinginan. Aku lukis muka desaku di ujung sana. Desa nan permai yang kini tak lagi berpenghuni banyak orang. Ya, semenjak kejadian itu mereka memindahkan semua properti ke tempat yang dirasa mampu menyokong pondasi rumahnya. Kini tinggal beberapa yang bertahan. Bahkan pondasi rumah kami mulai goyang digrogoti struktur tanah yang enggan lagi bersatu.