Musisi Jalanan

Terpana ketika mendengar syair yang dilantunkan para "Musisi Jalanan". Unik, mengundang perhatian. Bagaimana tidak, terkadang realita kehidupan di selipkan dalam syair mereka. Bukan hanya itu, kritik sosial pun turut dilontarkan. Seperti, ".........................................". Ah, kawan-kawan sudah nggak asing dengan syair-syair mereka, bukan?

Hingga suatu hari ada sekelompok remaja yang menyambangi rumah. Kala itu, beberapa kawan-kawan satu kampus sedang kumpul bareng. Menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Kebetulan beberapa dari kita ada yang gandrung dengan musik, terutama gitar. Kontan saja tanpa basa-basi langsung nyletuk, "De, minta syair and kunci gitarnya donk". Hmm... tak pikir panjang, mereka langsung saja menggoreskan tinta itu di lembaran kertas yang disodorkan.

Mudah sekali menuliskan kata demi kata itu. Hingga tersusunlah bait-bait panjang yang memenuhi lembaran putih tadi. Ya, syair lengkap dengan kunci gitarnya. Sebelum mereka melangkah pergi, mereka nyanyikan lagu itu dengan semangatnya yang menggebu.
Sosok bukan indikator penilai yang mutlak. Tampilan yang awut-awutan, muka kusam, kulit yang hitam terbakar matahari, tubuh yang kurus, kering, rambut tak pernah di sisir, bau apek dan kurang bersahaja, merupakan tampilan yang membedakan "Musisi Jalanan" dengan komunitas lain.

Belum lama ini berjumpa dengan salah, satu group dari mereka. Sempat ngobrol, sedikit mengenal siapa "Musisi Jalanan" yang sebenarnya. Meski sedikit celah saja yang baru bisa digali datanya. "Kita ngamen hanya untuk ngisi waktu, kalau ada pekerjaan kita simpan dulu gitar an syair ini", Mungkin saja dari mereka ada yang melakukan sekedar hobi atau sambilan seperti akuan itu. "Kami menghibur orang yang bunek otaknya". Benarkah demikian ? Saya kira kawan-kawan bisa menilai sendiri.

"Hari senin sampai kamis kami "Musisi Jalanan macam kami ini punya komunitas mba. Jadi suatu saat bisa kumpul-kumpul bareng, sekedar berbagi cerita. Hehehe". Bisa dikatakan ada oranisasi yang menampung mereka. Siapa ketua dan bidang apa saja yang digarap, belum sejauh itu kami kaji.

"Lagu yang dibawkan mah biasanya dari ngarang-ngarang sendiri. Paling aransemen ulang dari musik-musik yang biasa kami pegang ini (gitar)." Mungkin saja dari mereka ada team khusus yang biasa aransemen, penyesuaian irama alat musik juga latihan koor bersama. Wah, kayak paduan suara aja. Aresiasi yang tinggi  patut untuk mereka.

Teringat perjalanan hidup teman seperjuangan yang kini telah berkumpul kembali dengan anggota keluarganya. "Aku terbiasa tidur di kolong jembatan. Bersama orang-orang terbuang dan tersita haknya. Ya, tersita karena penggusuran yang gencar terjadi. Ah, bukan alasan ketika harus mengusir mereka karena menduduki tanah bertuan. Terlalu biasa menjelajah dari satu terminal ke terminal lain. Bahkan lebih sering dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak berani ketika harus menempuh perjalanan panjang antar terminal bus. Berbeda jika di kereta. Bisa dari gerbong satu ke gerbong berikutnya. Bahkan bisa berhenti di kereta semau hati. Jika ngamen suatu hal yang biasa, maka lebih luar biasa lagi ketika seseorang menawariku mengkonsumsi narkoba, bahkan meneguk minuman keras sekalipun. Itu dulu ketika diri ini melalang buana di suatu tempat yang mengkondisikan diri ini berbuat demikian."

Motif yang berbeda menjadikan penulis lebih tertantang untuk menggali data lebih banyak tentang mereka. Hingga suatu ketika ada kesempatan berkunjung ke bagian timur Pulau Jawa. Kebetulan naik kereta. Perjalanan panjang (10 jam) menuju IAIN Sunan Ampel Surabaya. Perjalanan pulang mendapat kursi di gerbong pertama di kursi paling depan. Berempat di kursi yang berhadapan. Sebelah kursi yang kami duduki ada beberapa penjual jajan dan "Musisi jalanan". Mereka sedang ngobrol dengan akrabnya. Tak hiraukan kami yang disekeliling mereka. Mungkin saja mereka terbiasa dengan situasi yang demikian.

"Kau tahu si... sekarang sudah menikah lho". "Masa sih, bukane kemarin sama si ..., menjelajah ikuti Logawa ke Yogyakarta". "Ah, itu kemaren. Udah lama kali". "Wah, kita nggak bisa ketemu lagi donk". "Eh, bukane itu lebih bagus, mendapatkan pemegang kunci hatinya". "Hehehehe". Si ibu paruh baya menimpali pembicaraan mereka.
"Tau nggak, kemaren aku sms si dia suruh ngebangunin aku di jam dua, ternyata beneran lho". "Jam dua, ngapain? Ngronda di stasiun mana?" xixixixi... yang lain ikutan ketawa. "Hus, apaan kamu ini. Kita boleh lah begini. Melalang buana, mengais rizzki. Tapi ya jangan sampai lupa pada si empunya hidup. Suatu saat kau akan mengerti cah."

Aku sendiri hanya tersenyum menyaksikan mereka. Sesekali melihat jendela luar dan pura-pura tidak menyimak pembicaraan itu. Meski sebenarnya diri ini jadi merasa kerdil di hadapan mereka. Sedemikian tebal iman mereka hingga diri ini tersengat dan teringat akan kata yang beliau ucapkan. Masyaallah.

Tidak hanya itu, teman-teman di kampus sendiri mengaku ingin turut larut dalam kehidupan mereka. Entahlah, mungkin kehidupan yang sedikit berbeda menjadikan kita lebih menikmati dan mengerti akan makna kehidupan yang sesungguhnya.

Kau tahu kisah Arai dan Lintang di Sang Pemimpi karya Andrea Hiranata ? Mereka menghabiskan libur musim panas untuk mengamen di jalanan. Kawan-kawan tahu apa yang mereka kerjakan? Membuat atraksi berkelompok sembari berkeliling dari satu negara ke negara lain. Ah, mimpi-mimpi itu suatu saat akan kita raih. Tak sekedar berkeliling Eropa seperti mereka tetapi apapun, apapun yang kita inginkan, insyaallah Tuhan berikan jalan menuju ke sana.