Kemana Rumahku Berpindah ?


“Nak, kemana esok kita pindah? Tetangga sudah mulai berkemas, sedang kita hanya punya sebidang tanah ini. “
“Pindah Ma ?”
“Iya sayang, lempeng tanah tak mampu lagi menopang pondasi rumah kita. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Tanah tak lagi bisa kita genggam.”
“Ma, Ais  seneng disini”
“Sayang, suatu hari nanti pasti ada tempat yang lebih nyaman untuk membesarkanmu. Ais tau, dahulu belakang rumah kita tanah masih jauh jaraknya dari jurang. Banyak pohon-pohon besar, bamboo, kopi, mbawang, kelapa, alba, bahkan pohon pule yang sudah jarang ditemui ada. Dulu mama dan teman-teman mama suka main di kebun belakang rumah. Naik pohon kopi yang dulu tinggi-tinggi milik Embah. Tapi sekarang semua sudah tak bersisa, hanya kenangan saja yang ada. Seakan tidak ada lagi tempat, sekedar menyokong rumah kita.“
“Gitu ya ma?”
“Iya, kamu harus tau itu. Pertama kali longsor karena pembukaan jalan aspal di bawah sana. Sepanjang si Koser mulai runtuh. Meski beberapa tahun bisa bertahan, pada akhirnya sekarang tanah tetap nggak mau menyatu dan begini kondisi sekarang. Besok, kalau Adek udah gede, rajin-rajin tanam pohon ya, terutama yang banyak akarnya. Supaya tanah bisa bertahan tanpa harus menggeser lingkungan diatasnya”
“Oke mama, besok Ais tanam cemara atau pinus yang kayak di hutan sana ya?”
“Pinter, apa pun boleh Adek tanam. Sekarang mandi dulu ya”
“Ya mama”
 
Lantunan mereka tidak akan terdengar lagi. Ya, tanah mengusirnya dari rumah yang bertahun-tahun dihuni. Banyak cerita, suku-duka yang kini hanya tanah merah menganga lebar yang siap memaksa kami pindah kapan pun. Ketika hujan turun menjadikan gundah kalau-kalau kami harus segera tinggalkan tempat berteduh ini.
Alam, marahkah engkau pada kami ?
Tak bolehkah kami tinggal lebih lama lagi?
Kesempatan yang kedua untuk menghijaukan lapisanmu, memperbaiki ketidak pahaman kami tempo lalu. Adakah kesempatan itu?
“Berkesah pun tak akan kembalikan tanah seperti semula. Kini rumah anakku yang belum lama ini dibangun juga harus segera berpindah. Engkau lihat nganga tembok yang tak lagi menyatu dengan bagian yang lain. Teramat kuat lempeng tanah ini memisahkan. Hanya lubang-lubang ini yang bisa di tutup, supaya tidak menganga lebih lebar. Teramait paksa alam mengusir kami. Andai engkau tahu seperti apa lingkungan ini dahulu. Lingkungan asri dengan rerimbun daunan juga pohon-pohon yang melekat kuat diatas lapisan tanah ini. Penduduk yang ramah dan memang masih saudara, keturunan. Kami harus be\rpindah satu-persatu dan meninggalkan keakraban kami diatas tanah merah menganga yang makin tumbang terbawa reruntuhan batu cadas. Haruskah kami terusir oleh kemarahanmu wahai alam ? Sampai kapan engkau selesaikan marahmu? Tidak kah kasihan saksikan kami ? Tidak ada yang mendengarkan jerit kami, kau tahu duhai alam?”



Dan kau lihat bawah pekarangan rumah kami. Disana tersisa sedikit rerumputan dan tanah merah yang demikian lebar. Beberapa warga masih kesulitan untuk melaluinya. Ketika kami tak lagi sadar, kami anggap ini tak lumrah. Mana boleh tanah menggusur peradaban kami. Peradaban yang kami bangun sekian tahun bersama-sama, demikian mudahnya tersingkir dan terbelah.
Tuhan, jika ini teguranmu, atas kesalahan yang kami lakukan di masa lalu. Maafkan khilaf kami Tuhan. Berilah kesempatan untuk mengelolanya kembali. Jika Engkau berkenan, biarlah kami huni dengan segala keterbatasan kami. Hanya kepadamu ya Robb, kami memohon pertolongan dan kasih sayangMu.