Iedul Kurban

Air hujan masih menetes dengan derasnya. Titis-titis itulah yang diharapkan kala air tak lagi muncul alirannya. Meski kadang tak sedikit yang mengumpat karena bepergian tak bawa payung atau bahkan cucian yang sedari kemarin belum sempat dibilas. Banyak cara manusia menghadapi hujan. Bagaimana denganku?

Aku selalu suka dengan hadirnya. Ingatkan ketika berjalan di jalan setapak susuri rerimbun pepohonan. Di bawah daun talas lebar itu merinding kedinginan. Meski sambaran petir yang berkilat-kilat dilangit ingatkan untuk sekedar istirahat sebentar, tak jua dihiraukan. Air selokan demikian mempesona, mengajak dan membujuk untuk dilalui. Sesekali terpeleset, tapi tak membuat kapok. Perjalanan panjang pun menjadi singkat. Basah kuyup itu sisipkan bahagia meski tanpa ayah-bunda.

Aku Yatim. Ya, aku yatim, yatim piatu. Tanpa ayah, tanpa ibu. Mereka yang seharusnya ada bersamaku. Membesarknku, mendidikku, mengarahkanku, menyayangiku dan habiskan waktu denganku. Tapi semua itu tidak aku dapat hingga detik ini. Aku hanya bisa teriris perih kala saksikan teman-temanku berkrumun bersama keluarganya. Aku hanya sendiri. Ya, sendiri. Eyang utie dan eyang kung yang sedari dulu bersamaku telah kembali pada Sang Kuasa. Aku sandarkan hidupku dengan membesarkan kambing mereka. Ya, aku hanya pencari rumput untuk makan kambing. Bangku sekolah tak lagi aku dapati setelah SD aku lalui. Meski demikian, sepotong kain sarung dan topi putih itu akan melekat di lima waktu ibadahku. Hanya itu kiranya bisa sembuhkan lara yang menimpaku.

Aku hidup dari kambing. Kambing yang sedikit, kambing yang aku elu-elukan. Meski ketika kebutuhan menjepit, harus aku relakan ia bersama orang lain. Oh, aku nggak bisa berandai jika aku punya kakak kambing, sapi semisal. Huh, aku lebih paham tentang kambing. Hanya kambing yang bisa aku pahami. Sekiranya aku bisa punya kehebatan lain. Ah, berandai itu tak baik. Baiknya itu berusaha dan terus berusaha sembari berdo'a. Ya, harapan itu masih ada. Meski takbimbang memang. Ketika kami, orang kecil bekerja dengan keringat yang bercucuran tapi sedikit pemasukan, tapi mereka yang sedikit bekerja malah mendapatkan pemasukan yang lebih. Apa yang salah dengan kami?

Teman-teman tahu, kalau musim hujan begini kasihan si  kambing. Bukan hanya bulunya yang tipis dan enggan menghangatkan kulit tapi juga rasa rumput yang tak lagi lezat. Beda kalau musim kering yang demikian wah kala menjumpai rumput segar. Dan itu pun menyusahkan pencari rumpun sepertiku. Eh, jadi kebanyakan cerita nih. Yang pasti saat-saat indah itu kala iedul kurban menjelang. Disamping banyak pemburu kambing, harganya pun merangkak naik.

Aku bahagia, bisa menyuguhkan yang terbaik di moment seperti ini. Kambingku akan lebih gemuk dan menawan. Jadi siapa pun akan jatuh cinta padanya. Aku tak akan mematok harga, silahkan mereka saja, calon pembeli yang tentukan. Aku hanya akan mengiyakan ketika ia mau mengapresiasi karya terbaikku dalam merawat si baby kambing hingga siap untuk dikurbankan.

Kadang aku merasa punya ikatan batin dengan kambingku. Dia mengembek kala dituntun pembeli pun serasa ucapkan salam perpisahan dan terima kasih padaku. Ah, terlampau menyedihkan. Tapi aku ikhlas, insya alloh. Mungkin dan teramat mungkin, kala golok menempel di lehernya pun dia akan bertakbir layaknya manusia bertakbir pada Sang Maha Kuasa.

"Allohu akbar... Allohu akbar... Allohu akbar... la illaha ilallohu Allohu Akbar... Allohu Akbar wa lila hilham"

Semangat berkurban dari mereka kaum muslim yang mampu mudah-mudahan bukan hanya di moment idul adha saja. Tapi rela berkurban apa pun, waktu, harta, ilmu, dlsb untuk umat lain yang benar-benar membutuhkan uluran jemari mereka.

0 komentar:

Posting Komentar