Prosesi Gula Merah


Matahari mulai naik dari peraduannya. Cahayanya menembus celah kecil jendela kayu tua itu. Burung-burung bernyanyi diatas ranting-ranting kering itu, sesekali melangkah naik turun sekan mencari sesuatu. Embun masih ada dipucuk dedaunan. Semalam hujan turun deras. Bukit nan jauh disana tampak begitu mempesona. Pemandangan hijau nan segar, meski bentuknya berbeda dari tahun yang lalu. Penebangan pohon yang tak terkendali menjadikannya botak tak penuh dengan rerimbunan daun.
Disebrang jalan terlihat ibu paruh baya menggendong bakul yang sarat. Dengan teko di tangan kirinya dan rantang di tangan kanannya. Beban yang berat bertumpu pada satu titik. Luar biasa. Di sebelah tak jauh darinya, seorang bocah mengekor. Mungkin cucu atau bahkan anaknya.
Jadi teringat si Mbok. Melihat mereka, mungkin dulu akulah yang jadi bocah itu. Melangkahkan kaki menuju sumber penghidupan. Singgah dari rumah ke rumah, menghampiri ibu-ibu yang sekedar melihat barang dagangan yang kami jajakan. Tak jarang setelah diacak-acak  kemudian menawar tapi tak jadi beli. Kalaupun ada, kredit. Maklum di desa. Pembayarannya pun terkadang barter dengan hasil pertanian mereka, palawija, sayur, gula merah juga kami terima.
Hingga pada suatu hari, di sebuah rumah yang tak pantas disebut rumah. Gubuk lebih tepatnya. Di sana seorang lelaki tua bersama istrinya sedang mengaduk cairan kental di kuali besar. “Dukk…duk…duk…” Pengoleh panjang itu beradu dengan lapisan wadah yang sesekali bergerak memutar. Ya, tenaga ekstra mesti dikeluarkan untuk mengolahnya. Cairan itu makin lama makin mengental. Coklat pekat dengan sedikit buih-buih kecil koyakan pengoleh. Kurang lebih satu jam pemandangan yang sama aku saksikan sembari mendengarkan obroan ala orang tua. Setelah itu barulah cairan kental itu di tuangkan ke cetakan-cetakan bulat setengah lingkaran yang melekat pada sebuah papan kayu khusus.
Dengan cepat mereka penuhkan lubang-lubang itu. Sesekali mengambil lebih banyak di kuali besar dan dengan benda semacam gayung dan sendok besar, turut membantu memposisikan. Telaten dan hati-hati seakan menjadi kunci sukses mereka. Ingin sekali mencoba, tapi tidak diperkenankan. Karena kalau sampai cairan itu mengeras, tak mudah lagi mencetaknya.
Gelas besar itu diraih jari lelah si ibu. Beberapa cairan kental itu diteteskan. “Ambil lah nak” Katanya. Aku ambil dan ku masukan ke dalam mulutku. Ini namanya “Ngencer”. Cairan kental itu dimasukan dalam gelas yang berisi air dengan maksud supaya cepat mendingin dan bisa dinikmati layaknya premen yang di jual bungkusan. Manis banget, premen alami produk local yang tak tertandingi. Hmmm… tak usah takut, karena cairan itu memisah sendiri ketika dimasukan di air. Beda banget dengan premen biasa yang bisa luntur dan habis dengan sendirinya.
Nggak nyape sepuluh menit mereka tuangkan di bulatan-bulatan itu. Setelah dirasa cukup mereka biarkan cairan mengeras dan akan mengangkatnya setelah mendingin.
Mesti kawan-kawan tau, cairan tadi itu air nira yang didapat dari bunga-bunga kelapa. Ya, ada tempat khusus, pisau bahkan teknik pengirisan yang hanya dimiliki oleh mereka-mereka para penderes. Siang mereka akan naik pohon kelapa untuk menggantikan tempat nira yang sudah terisi. Memanjat beberapa pohon kelapa dan mengumpulkannya, kemudian dibawa ke rumah, dicampur menjadi satu yang sebelumnya disari terlebih dahulu. Ini dilakukan karena beberapa kelopak bunga juga serangga-serangga terperangkap dalam pongkor (Tempat nira yang terbuat dari ruas bamboo yang dipotong sedemikian rupa).  
Setelah semua terkumpul, kuali besar itu diangkat ke atas tungku. Api besar terus-menerus sangat dibutuhkan supaya nira cepat mengental. O’a sebelum mengental juga bisa dipakai untuk merebus ubi-ubian. Tapi tak boleh terlalu banyak, karena akan berpengaruh pada kualitas produk.
Oke, cairan kental kini sudah mulai mengeras. Beberapa telah diangkat dan dibungkus dengan daun pisang kering. Beberapa disatukan, sehingga menjadi bulatan yang utuh, mereka menghitungnya menjadi “satu linting”. Sedangkan setengah lingkaran itu namanya “satu kerek”.Istilah yang unik memang.
Mereka biasanya memberikan secara Cuma-Cuma sekedar mencicip. Barang selinting atau sekerek. Padahal kalau kita melihat prosesi dari awal, satu kuali besar hanya menghasilkan seperempat cairan kental yang siap disulap jadi produk yang bisa di barter atau di jual belikan.
Demikian panjang pengolahan gula merah ini. Pertanyaannya, mereka nggak ngeluh sih ? Bisa ya? Resep dari mana ? Hmmm… lebih jelasnya, silakan kunjungi Penderes yang ada di desa.

TaRa Oriza


Teman-teman memanggilku Tara, Tara Oriza. Demikian nama panjangku. Orang tua memberiku nama yang sedikit lebih keren dibanding Katiem, Tunem, Darkem, Satiem, Kadem or sometthing like that. Oriza, Oriza sativa, nama latin biji-bijian. Ya, padi. Mereka terinspirasi oleh tulisan yang melekat pada kantong pembungkus bibit unggul subsidi pemerintah. Singkat cerita, kala itu penduduk desaku mulai menanam padi ( Oriza Sativa ). Yang kala itu Oriza Sativa dirasa unik dan sangat asing bagi telinga orang awam. Tara bermakna bobot pembungkus, diharapkan nantinya menjadi seorang yang memiliki ilmu pengetahuan luas, berbobot dengan ilmunya dan dipertimbangkan dalam komunitas juga memiiki jiwa yang rendah hati seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Orang tuaku bertani, petani yang semakin kabur harapannya. Ketika bertanam padi yang mengenyangkan semua perut, baik perut glandangan sampai pejabat tinggi, presiden bahkan mafia dan penjahat perang pun menikmatinya. Tapi sayang, tengkulak hanya mampu membeli produk kami dengan harga yang tak sebanding dengan perjuangan menghidupi sebatang padi.
Petani dihadapkan pada harga pupuk yang melambung dengan efek kimia yang makin mengurangi kesuburan tanah. Pajak bumi, sebagai lahan bercocok tanam juga mahal, apalagi jika dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari yang mahal pula, belum urusan pendidikan. Entah sampai kapan ini berakhir. Jerat yang semakain menyengsarakan sepanjang hayat.
Kalaupun akhirnya mereka bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi , tak pernah inginkan mengambil di fakultas pertanian. Mereka tak ingin kedepan si anak mengalami hal sama pada diri petani. Anak pun tak inginkan profesi tani untuk disandang. Kalau sudah begini, gelar yang disandang Indonesia sebagai Negara Agraris akan cepat ditanggalkan. Para pewaris ilmu bercocok tanam akan berganti menjadi manusia berdasi, karyawan-karyawan kapitalis yang akan senantiasa memeras keringat balakurawanya hingga Berjaya.
Fakultas hukum banyak dipilih, meski orientasi kerja makin diragukan. Bagaimana tidak, banyak koruptor yang berkluyuran di gedung-gedung pemerntahan, gedung sekolah pun tak sedikit beda. Koloni-koloni berantai mereka tak tuntas diungkap. Koruptor kelas kakap berhukum ringan dengan fasilitas mewah di dalam jeruji besi. Sungguh aneh negeri ini.
Bukan hanya itu, gaji para penguasa negeri merangkak naik. Berbeda dengan gaji guru yang tidak sesuai dengan pengabdiannya. Kompetensi mereka pun seakan dipermainkan, ini terbukti dengan adanya insentif untuk “guru berprestasi”. 
Ah, aku hanya orang desa. Orang desa yang memiliki tekad penuh untuk belajar di kota. Kota yang demikian asing untukku, empat hingga lima jam perjalanan pun harus ditempuh untuk singgah disana. Mengayunkan langkah meniti kehidupan yang demikian keras. Tiada sanak keluarga disana, hidup ini terasa sendiri, bagai sebutir kerikil di padang pasir demikian luas. Berharap menemukan oase penawar dahaga dikala lelah.

wew... HotSpot.....

Pagi buta, bangun, tunaikan kewajiban terhadap Tuhan dan mulai beraktivitas seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya, Jum'at ada dua mata kuliah di jam pertama dan ke dua. Jam pertama Psikologi anak dan remaja dan ke dua ada BK (Bimbingan Konseling). Setelah merapikan diri, dan belum sempat sarapan karena kebetulan dapat antrian terpanjang, berangkat ke kampus dengan teman.

Meniti langkah berharap sampai lebih cepat di ruang kuliah. Karena jarak kos-kosan dan kampus lumayan jauh. Dua puluh menit sampai di daun pintu. Alangkah terkejutnya ketika di ruangan itu hanya ada kursi-kursi yang saling membisu. Hmmm... begini kalau nggak ada info up to date.

Aku putuskan nunggu di serambi sambil baca kumpulan cerpen "Lelaki yang Dibeli" karya cerpenis-cerpenis Indonesia yang tergabung dalam buku terbitan OBSESI Press Purwokerto.

Termang sendiri seperti orang hilang. Sesekali melirik gedung  yang biasa kami pakai. Tak satu batang hidung pun muncul. Huft, setengah jam hampir terlewat. Aku putuskan hendak ke Perpustakaan, setidaknya di sana ada ilmu baru pengganti kuliah jam itu.

Setelah memasuki ruang perpus, ambil kunci, menuju loker dan meletakan semua properti di dalamnya. Hanya buku dan Lepy yang aku tenteng dan aku bawa ke lantai dua. Masuk Hot Spot area hendak menengok Blog dan nge posting beberapa karya terbaru.

Setelah Lepy ku buka, mulai terkoneksi k jaringan. Tak lama setelah itu, muncul kolom registrasi yang berisi Pasword dan User. Seperti biasa, aku isikan Nama dan NIM ku. Tapi setelah di enter, kolom itu kembali ke posisi semula. Berkali-kali aku coba dan hasilnya NIHIL.

Terlintas di benak, "Hot Spot Gila". Gila dan mempermainkan. Ngebuat jengkel dan"Ngesuih". Alternatif pinjam User dan Pasword teman. Via SMS aku kirim ke beberapa dan satu yang ngrespon. Lebih ngegemesin lagi ketika user dan Pasword itu sama-sama nggak bisa masuk. Masyaallah... "Assobru.......Assobruu..."

Ada teman lama yang menghampiri, sempat bercakap dan lumayan cukup lama. Hape bergetar, beberapa sms masuk. "Hari ini kuliah kosong dan BK diganti jam ke dua hari sabtu." Inna lillah, kok baru nyampe ?

Setelah di croscek, ternyata hape lagi kurang sehat. Suka nge-pending message. Ya apa boleh buat, sudah terlanjur gini.

Beberapa saat kemudian, temanku pamit mau kuliah. Hmmm sendiri lagi. Mencoba isikan pasword dan user kembali. "Gila_Gila_bener_bener Gila". Tetep nggak mau conect. Apa lagi yang berkendala?

Setelah dibaca ulang dan di teliti, ternyata pasword dan usernya diisikan TERBALIK. Masyaallah, setelah sumpah serapah di dada juga amarah yang hampir saja tumpah, akhirnya ketemu juga penawarnya.
Alhamdulillah, terjawab sudah. Beberapa menit bisa terkoneksi sebelum akhirnya "Tidah ada sambungan" tertera di layar monitor.

*Jum'at, 27 Mei 2011

Sandal Bututku


Kamis, 13 Mei 2010. Hari ini aku bangun lebih awal dari hari libur biasa. Aku, Teguh dan Dhaffa akan mengikuti lomba di masjid Baitussalam Purwokerto. FASI, Festival Anak Sholeh Indonesia tingkat kabupaten Banyumas.
Setelah mandi,sarapan, pamit dan berangkat rame-rame, jalan kaki menuju lokasi perlombaan. Kebetulan rumah dan tempat lomba tidak begitu jauh, setengah jam nyampe. Kami berangkat setengah tujuh pagi, jam tujuh pasti nyampe.
Nah, betul kan, jam tujuh nyampe. Sesampainya di Baitussalam, Uff…lumayan capek juga. Tapi capek itu hilang setelah berjumpa dengan teman-teman yang lain. Mereka buanyak buanget, pesertanya membludak. Banyak juga yang lagi antre, mendsftar bagi yang belum, termasuk aku. Kami menuju tempat panitia pendaftaran lomba dengan pendamping kami, ustadzah Rara. Setelah administrasi oke, kami menuju pendopo untuk mengikuti pembukaan lomba. Cuaca makin panas menyengat, matahari seakan memanggang kami. Bisa dibayangkan, yang pasti neraka lebih panas dari ini, naudzubillah…
Upacara selesai pukul sepuluhan. Kami langsung menuju TK Aisiyah, majelis III golongan CCQ cabang TPQ. Yup, kami ikut lomba CCQ perwakilan dari Purwokerto Utara. Pesertanya itu dari TPQ tiap kecamatan yang ada di kabupaten Banyumas. Ada Sembilan belas kecamatan yang ikut, dan peserta tiap kelompok ada tiga anak. Hayo hitung, ada berapa anak yang ikut lomba CCQ?. 19 X 3 = 57. Ya…benar 57. Di depan sana ada dua dewan juri, tiga panitera dan dua panitia. Kami, peserta ada di tengah, duduk manis diatas karpet merah yang membentang, dibelakang kami ada deretan kursi untuk pendamping. Ada juga orang tua peserta, bahkan adek-adek kecil juga ada. Mereka semua menonton dan mengawasi kami.
Setelah peraturan dibacakan oleh panitera, babak pertama perlombaan dimulai. Babak awal penyisihan lomba, kami diberi 50 soal dengan satu lembar kertas untuk menyalin jawaban. Soalnya seputar materi yang diajarkan di TPQ. Seperti tajwid, nabi, malaikat, rukun shalat, wudhu, doa sehari-hari, rukun islam, rukun iman, pokoknya seputar islam.
Empat puluh lima menitan, kami menyelesaikan soal itu. Soal terdiri dari pilihan ganda dan esay. 45 pilgan dan 5 esay. Kelompok lain sudah ada yang mengumpulkan lembar jawab mereka. Kelompok kami sudah sih, tapi mau di cek ulang, takutnya ada jawaban yang telewatkan. Setelah yakin baru kami kumpulkan dan menemui ustadzah Rara yang menunggu kami didepan.
“Gimana, mudah bukan?”
“Mudah dong ust”, jawabku
“Mudah…soalnya, jawabannya lumayan sulit”, si Teguh menambahkan.
“Itu sih lumayan, daripada lumanyun”
“Ha…ha…ha…ha…”\
Tertawa serempak, Dhaffa ini, sukanya nyemplong seenak perut aja.
Setelah semua peserta selesai mengerjakan soal. Di dalam tinggal panitia dan panitera yang sibuk mengoreksi jawaban kami. Mereka terlihat serius dan sangat teliti. Nanti, kelompok siapa ya yang dapat kesempatan mengikuti babak selanjutnya. Final, penentuan kejuaraan. Jadi H2C, harap-harap cemas.Sambil nunggu pengumuman, kami main ayunan, prosotan, jungkat-jungkit yang ada di samping gedung perlombaan.
Tahu nggak sih, ketika lagi main jungkat-jungkit, sandal yang aku kenakan putus. Apa yang mereka bilang,
“Bertanda buruk tuh!!!”
Ah, aku nggak percaya. Sandal putus, apa hubungannya dengan jawaban kami. Kalau sandal yang dijual di dunia ini nggak ada rusaknya, siapa nanti yang akan beli poduk sandal berikutnya?. Kasihann  dong para pengrajin sandal. Rizki untuk si penjual sandal juga. Paling nggak nanti aku dapat ganti sandal yang baru. Ambil baiknya aja.
Setengah jam lebih, panitera dan dewan juri mengoreksi dan berembuk di dalam. Aku dan teman-teman yang lain suddah nggak sabar pengen tahu hasilnya. Jam 11.22 WIB, panitia mempersilakan kami semua masuk ruangan. Mereka akan menyampaikan hasil lomba. Aku deg-degan. Kejuaraan dibacakan tiga nilai tertinggi yang akan maju ke babak berikutnya.
“Peringkat pertama, dengan nilai 91 diperoleh oleh TPQ Nurul Huda dari Purwokerto Timur. Peringkat kedua dan ketiga, dengan nilai sama 87 diraih TPQ AL Amin dari Kecamatan Kembaran dan TPQ Az Zahra dari Purwokerto Selatan”
Em…belum juara, Alhamdulillah. Tapi bukan karena tali sandalku yang putus. Paling nggak udah usaha menjadi yang terbaik, meski belum kecapai. Ada kesempatan untuk mengikuti lagi di tahun depan. Aku jadi lebih bersemangat lagi belajar di TPQ. Ternyata teman-teman santri banyak di Banyumas ini. Aku juga akan ajak teman-teman yang belum gabung di TPQ. Mudah-mudahan, lomba yang akan datang, kami lah pemenangnya. Amienn.

Sepatu untuk Jemariku


Laskar Pelangi, Buka seperti Ikal yang ingin pergi ke paris melihat Eiffel dan keliling Eropa. Keinginanku sederhaana saja, mempensiunkan kedua orang tuaku dari kerjanya dan membiayai sekolah kedua adiku  Aku ingin seperti Lintang. Pintar, pemberani dan pantang menyerah. Aku ingin sekolah yang tinggi supaya bisa memajukan desa terpencil ini. Ya, aku anak desa, pelosok, jauh banget dari kota. Paling nggak, kalau penduduknya pintar, kita tidak lagi mau dibodohi. Nggak dijajah, dijajah oleh penguasa yang konon orang sendiri sekali pun.
Ayahku seorang petani, Ibu penjual gorengan di SD. Penghasilan mereka cukup untuk makan saja. Kebutuhan yang lain menyusul. Bahkan jari kakiku yang keluar karena  makin memanjang tak aku pedulikan. Seragam merah putihku, ah nggak putih lagi tapi merah dan krem. Nggak penting, asal aku bisa sekolah, perut kenyang dan bisa bantu mereka.
Setiap pagi aku harus ke pasar, sedangkan  Ibu membereskan rumah juga mempersiapkan bumbu-bumbu gorengannya dan ayah ke sawah jam tiga dini hari. Sedikit bercerita tentang sawahku, disana surga bagi kami. Setiap kali kesana pasti ada kesan beda yang aku dapat. Suatu hari aku duduk dibawah pohon pisang di paling ujung sengkedan sawah. Sejenak memandang, mengagumi betapa hebat Maha karya sang penguasa alam ini. Terbentang tak berujung. Langit yang biru memberikan kesejukan tersendiri. Burung-burung kecil menari, mendapati buliran-buliran hijau padi kami. Di kejauhan sana nampak seorang bapak tani yang asik dengan cangkulnya. Si ibu nampak berjalan dengan menggendong sesuatu dan kedua tangannya membawa rantang dan ceret[1]. Teringat titah Ayahku,
“Nak, ingin jadi apa kau nanti ?”.
“Petani yah
“Petani ?!! Mbok ya pilih yang lain. Petani itu hidupnya sulit. Apa kau akan pertahankan hidup seperti ini? Nggak punya duit, kerjanya kepanasan. Liat tuhdi tivi , orang berdasi, duduk di kursi empuk, pegangannya pulpen, ruangannya AC, mobilnya mewah, rumahnya megah, kerjanya…”
“Apa kerjanya ?”
“Pastinya kerjanya lebih ringan, tanda tangan dan dapat uang”
“Wah enak banget. Siapa yang nggak mau coba. Tapi kalau aku jadi pejabat, siapa yang akan mewarisi ilmu bercocok tanamu yah ?”
“Iya ya, kalau semua orang jadi pejabat, bahkan para petani inginkan anaknya jadi pegawai, siapa yang akan olah tanah, mengolah sawah, menanam padi yang nantinya mengenyangkan perut-perut mereka”.
Bapak sendiri mulai ragu dengan angannya. Hidup mewah bukan jaminan bisa bahagia. Banyak duit pun nggak jadi jaminan. Seperti Gayus Tambunan yang kasusnya belum juga berahir. Hafal nggak lagu yang berjudul “Andai aku jadi Gayus Tambunan” ? Biar hidup di plosok, jangan salah, Tv tetangga akan tetap nyala dan kami biasa nonton bareng seperti layar tancap.
Suatu pagi,  aku keluar rumah dengan tenggok kecil di tangan kiriku. Tangan kanan membawa Brontok, ayam yang harus aku jual untuk membayar buku latihan ujian. Kasihan Brontok, mudah-mudahan nanti dia dapat majikan yang jauh lebih sayang padanya.
Pasar lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Dua jam harus menyusuri jalan yang tak pantas disebut jalan. Sungai kering lebih tepatnya. Beda dengan jalan-jalan di kota, hitam, rata dan lebih nyaman tanpa takut terantuk batu. Apa lagi kalau pakai sepeda, pasti nggak akan terburu-buru seperti ini. Masih harus memilah-milih celah tak berbatu pula.
Dua jam berlalu, aku menuju area pasar hewan. Si Brontok ditawar tiga puluh ribu rupiah. Gila si pembeli, brontok kan udah gede. Dimana-mana sama, tengkulak beli dengan harga rendah. Bukan kali ini saja, padi yang sudah menjadi beras juga jadi bidikan empuk mereka. Sampai kapan derita ini berakhir ? Jika dibandingkan dengan hasil penjualan si brontok tak seberapa dibanding buku ku yang harganya dua puluh lima ribu. Sisa lima ribu, bisa saja aku simpan di duplikat brontok. D ia si jalu, ayam-ayaman khusus penyimpan uang yang kami sebut “celengen”.
Setelah transaksi usai, aku menuju ke penjual sayur. Pesanan ibu, ditulis di kertas. Tadi pagi sudah dimasukan ke tenggok ini. Tapi sungguh malang, pagi ini tak ada secarik kertas pun. Tenggok kosong, mungkin jatuh di jalan. Hari ini aku berangkat tidak seperti biasa. Aku menyusuri sawah, memotong jalan. Bukan hanya itu, aku berjalan setengah berlari. Takut sampai di pasar kehabisan pesanan ibu. Dari dua hari kemarin, ibu tulis sayuran yang sama. Analoginya, hari ini nggak bakal jauh-jauh dari itu. Mudah-mudahan saja.
Hari makin siang. Aku harus dapatkan semuanya. Kalau nggak dapat, nggak akan ada jatah makan hari ini. Kasihan adikku nanti. Bagaimana jadi anak yang pintar, kalau belajar nggak konsen karena lapar. Aku masih sedikit ingat dengan pesan ibu hari kemarin. Setengah kilogram wortel, seperempat kilogram kecambah putih, satu kilogram kubis, dua bungkus tahu kering, satu setengah kilogram tepung terigu, setengah kilogram tepung beras, seperempat bawang merah, satu ons bawanng putih, lima bungkus ketumbar, satu bungkus mrica, seperempat kilogram kacang hijau, setengah kilogram gula jawa, satu bungkus garam, satu kilogram minyak goreng. Paling nggak semua aku beli dulu. Kalaupun tidak sesuai, bisa diolah menjadi menu yang lain.
Ada uang lima puluh ribu rupiah dari ibu untuk dapatkan semua. Semua kebutuhan mahal, sayur juga. Bahkan baru-baru ini harga cabe melambung. Lagi-lagi tengkulak bermain. Tau nggak, buah yang sekarang ini kebanyakan didatangkan dari luar negri. Beda dengan produk petani wa bil khusus beras yang sampai saat ini belum ada perhatian khusus. Padahal nasi yang mereka makan, petani yang tanam. Bayangkan saja, kalau semua petani yang ada, menanam padi hanya untuk makan keluarga sendiri. Para penguasa diatas sana siapa yang mau ngasih nasi? Bisa nggak makan mereka. Aku bangga jadi anak petani, petani yang mengenyangkan semua perut yang kelaparan.
Setelah aku bayarkan, dihitung-hitung semua lima puluh tiga ribu. Aku ambil tiga ribu. Tak apa lah, dua ribu untuk si Jalu. Melintasi pasar, menuju pintu keluar. Melihat tomat merah besar yang menggoddaku untuk menyapa dan membelinya. Paling nggak bisa aku tanam bijinya dan dinikmati daging buahnya. Aku dekati si penjual tomat itu. Seorang nenek sepuh. Ah, jadi ingat ibu.
“Nek, tomatnya satu berapaan?”
“Seribu nak”
Wah, mahal juga. Kalau beli dua berarti uang habis. Jalu nggak akan kebagian. Kalau nggak jadi beli, kasihan nenek ini, kalau ditawar, nggak tega. Akhirnya aku putuskan.
“Satu aja nek”
“Makasih nak, ini ditambah dua yang kecil untukmu”
“Terima kasih nek”
Senyum yang mewarnai guratan wajahnya itu tampak alami. Tahun 2011 ini masih ada orang sebaik nenek itu. Coba semua penduduk dunia, ah nggak usah jauh-jauh, penduduk Indonesia, atau semua penduduk desaku sebaik nenek itu. Pasti semua akan bahagia. Beli satu dapat tiga. Aku hanya bisa merasa, mengamati, belajar dari mereka. Menghadapi kerasnya hidup berebut sesuap nasi.
Matahari mulai naik, aku harus mempercepat langkahku. Hari ini aku nggak ingin terlambat.
Sampai di rumah pukul setengah tujuh pagi. Ada waktu seperempat jam untuk mandi, sarapan dan siap-siap berangkat sekolah. Sekolahku nggak jauh, lima belas menit nyampe. Adek ku yang satu, kelas tiga SD. Setelah sarapan dengan sepotong goreng pisang dan segelas air putih, kami pamit berangkat. Ibu masih sibuk dengan hasil belanjaku., Ibu nggak protes dengan apa yang aku beli. Syukurlah, berarti cocok dengan apa yang diinginkan. Aku belum sempat sampaikaan kejadian yang aku alami pagi ini. Maaf ibu, hari sudah siang.
“Bu, Khanif sama Eli berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam, ati-ati nak”
Sambil mencium tangannya, kami berlalu. Jalan kaki, ayunkan langkah menuju sumber pencerahan, ilmu. Ya ilmu yang akan menjadikan terang dunia ini. Bukan hanya listrik saja yang menjadikan terang. Hehehe
Alhamdulillah, nyampe di kelas guru belum hadir.
“Bel udah dibunyikan lima menit yang lalu pangeran telat!!!”
“Yup, makasih atas informasinya”
Dia Amin, teman sebelahku. Anak kepala desa yang kadang rese, sok gitu. Tapi biarlah, “biarkan anjing menggong-gong, kafilah berlalu”, Hehe…Tak usah diladenin, nanti juga diam sendiri. Tak lama kemudian, Bu Wanti muncul. Semua anak diam dan siap mengikuti pelajaran. Dia guru favorit kami, cantik, anggun dengan balutan muslimahnya juga pintar. Pokoknya dia menyenangkan. Tambah semangat deh.
“Selamat pagi anak-anak”
“Pagi bu…”
“Siapa yang tidak masuk hari ini?”
“Nihil bu…”
Nihil itu kita anggap nggak ada yang tidak berangkat hari ini. Dalam artian semua masuk.
“Alhamdulillah. Hari ini, kita akan menghitung, jarak, waktu dan kecepatan. Buka buku sains halaman 80”
Kami mulai membuka-buka isi buku, mencari halaman 80.   
Pak kepala sekolah masuk ruangan kami. Semua tambah tenang, duduk teratur.
“Anak-anak, mohon perhatiannya. Ada pengumuman penting untuk kalian. Sehubungan dengan adanya lomba Mapel besok di SD N 2 Sukajati, bapak akan menunjuk tiga anak dari kalian sebagai wakil SD kita. Adapun hadiahnya, juara satu uang sebanyak Rp 750.000,, juara dua Rp 500.000, dan juara tiga mendapat seragam, sepatu dan alat tulis. Mereka yang akan ikut lomba adalah Afi, Wulan dan Khanif. Siap?!”
“Siap!!!,”
Agak ragu juga jawabnya. Setiap kali ada kegiatan pasti mendadak. Maklum, daerah kami sulit dijangkau. Kalaupun ada surat dari Dinas Pendidikan, surat itu akan singgah dulu di kecamatan, di balai desa, di tempat pak RW, kemudian di rumah pak RT, baru sampe ke SD. Uff…nggak ada merpati surat lagi sih. Tukang pos juga nggak bisa menjangkau.
 “Insyaallah”
“Kalau begitu bapak tinggal dulu dan selamat melanjutkan pelajaran kembali.”
“Kok Khanif sih, Amin nggak ikut”
Bisik-bisik mereka ungkapkan ketidak puasan karena bos yang dielu-elukan nggak dijadikan duta sekolah. Itu menjadikan suasana berdengung seperti rumah lebah.
“Oke anak-anak. Selamat bagi yang terpilih, dan yang belum jangan berkecil hati. Masih ada banyak kesempatan untuk kalian. Oh ya, nanti kalian bertiga jangan pulang dulu. Ada sedikit pengarahan dan dipinjami buku pengayaan untuk dipelajari dirumah.”
Pelajaran dilanjutkan hingga bel istirahat berbunyi, setelah membereskan alat tulisku aku akan ke kantin. Bukan untuk jajan, tapi melihat ibu. Sudah di sana apa belum.
“If, selamat ya”
“Kamu?”
Amin menghampiriku. Kaget aja, nggak biasanya.
“Ya, aku bosen dengan persaingan kita yang nggak sportif. Aku dah capek dan ingin konsentrasi untuk ujian kita nanti”
“Oke, jadi mulai skarang kita berteman?!”
“Berteman!!!”
Ha…ha…ha..a…a…
Tawa merekah di kedua wajah itu. Musuh emang bikin nggak nyaman. Sahabat jauh lebih enak pastinya.
“Makan yuk!!!”
Mereka keluar menuju kantin. Untuk pertama kalinya Amin mencicipi menu gorengan ibuku.
“Emmm, ternyata enak juga. Pisangnya unik, gorengnya kayak Kentucky. Dapat resep darimana?”
“Ada deh”
“Boleh tuh, kapan-kapan kalau rumahku ada acara, pesan ke ibumu aja”
“Oke, order baru. Kamu order, aku anter”
“Kau memang terbaik sobat”

Hari yang sudah ditentukan pun muncul. Hanya ada satu keinginan aku harus dapat sepatu itu. Kasihan jari jemari yang nongol di sepatu lamaku. Pagi-pagi sekali aku menuju sekolah dan berkumpul dengan teman-temanku . Jarum jam menunjukan pukul 06.00, Pak Irvan belum datang, padahal dia adalah guru paling disiplin di sekolahku. Untung dia mengajar kelasku di jam siang. Bisa dibayangkan kalau pagi, aku kan biasa telat. Bisa-bisa nggak pernah ikut jadwal mata pelajarannya. Kami mencoba menunggunya dengan tenang. Setengah jam lebih kami menunggu. Semangat itu kini terbang tersapu angin. Padahal persiapan sudah matang. Dalam kegelisahan itu, muncul Pak Jumad, dia mengatakan pada kami kalau Pak Irvan berhalangan datang karena istrinya mau melahirkan. Mengapa dia baru kasih tau, padahal jarak tempat lomba lumayan jauh, pak Irvan lah satu-satunya guru yang punya motor. Harapan itu pupus dan layu sebelum berkembang. Ah, ambil sisi positfnya aja. Kali ini belum bisa, berharap tahun depan kami turut meramaikan lomba yang sama.
Kami pulang dengan tangan hampa. Juara satu tidak kami peroleh, sepatu pun nggak. Malang benar hari ini. Berjalan dengan ayunan malas, takut ditanya macam-macam sama orang tua. Sesampainya di depan rumah, ada yang beda. Terdengar celoteh riang anak kecil yang suaranya sangat akrab di telingaku. Berlahan aku menuju pintu rumah. Benar saja, ada Lista, Chalista. Dia sepupu kecilku yang lama tidak bertandang. Hemm, dia berlari memeluku, sayang banget. Kangen, lama kami tidak ketemu. Ada Bibi Trika dan Pamanku, Afian. Yang mengejutkan lagi, ternyata mereka bawa bingkisan untukku. Ayah, Ibu dan adek juga mendapat bagian masing-masing. Beribu tanya bergelayut dalam pikiranku. Setelah dibuka, ternyata sepatu baru didalamnya. Wah, memang rizki itu datang secara tiba-tiba. Terimakasih Tuhan.
Kawan, mungkin ini yang bisa saya ceritakan, untuk lebih serunya lagi silakan kawan-kawan main ke desa ku. Yang pasti di desaku lebih keren dari Edensor yang diceritakan oleh Andrea Hirata. Ditunggu kehadirannya lho. 


[1] Rantang itu tempat makanan, bekal dan ceret itu tempat air.