Menggandeng Waktu


Rintik hujan masih basahi dedaunan. Menetes dan terus menetesi bumi. Kicau burung-burung sambut pagi. Mentari masih belum muncul meski di timur sana cahaya merah mulai terlihat. Hawa dingin menyusup pori. Aktivitas masih belum mulai berdesak.

Hari terlampau pagi untuk bergegas rapi. Perkuliahan baru akan dimulai jam delapan, sedang jarak kampus dan kos-kosan tak terlampau jauh ditempuh. Aku masih menikmati teh manis panas sebagai menu awal sebelum bersantap pagi. Ya, hangatnya akan memacu syaraf lebih peka berkontraksi. Yang pasti, energi akan terakumulasi lebih tinggi dan sebagai penghangat diri sebelum jalani aktivitas hari ini.

Deru motor mengalun lembut. Seseorang mendekati pintu sembari bertutur salam. Tika, teman satu kos yang kebetulan menemuinya. Ah, Aku sendiri nggak mau urusan dengan siapa yang hadir. Masih duduk tenang nikmati secangkir teh di bangku depan jendela.

“Mba, ada titipan nih”
“Oh ya? Dari siapa de?”
“Kurang paham lho. Tika buka ya?”
“Eits, jangan merampas yang bukan haknya lho ya”
“Hmmm... Halus tapi menohok”
"Maaf deh"
"Hmm"

Ayunan yang tepat. Kini bungkusan kecil merah jambu itu beralih tangan. Manis dan teramat rapi, meski nggak ada identitas pengirim yang tercantum. Menggelitik untuk segera dibuka. Lagian, siapa juga bela-belain anterin benda kayak gini di pagi buta, gerimis-gerimis pula. Ah, nggak perlu banyak spekulasi.

Masih di muka jendela. Aku buka kertas pembungkusnya. Kau tahu apa isinya? Sekilas sampulnya berupa kertas, bergambar dan tertuliskan, “Pudarnya Pesona Cleopatra” karya kang Abik, Habiburrahman El Shirazy. Penulis terkenal alumni Mesir. Menarik. Tau aja kesukaanku. Tapi aneh aja, belum terlihat identitas pengirim.

“Ika, tadi yang nganter siapa ya?”
“Kok baru nanya sih mba?”
“Siapa koh?”
“Haduh, kasih tau kaga ya?”
“Hmm, kasih tahu lah”
“Boleh, tapi bersyarat”
“Apa?”
“Nicip tehnya”
“Ya”
Sejurus kemudian Tika nongol,

“Tika minum dulu ya?”
Setelah meneguk dan menghabiskan isi gelas, baru mulai bercerita.

“Tadi itu mas-mas yang sama sekali belum pernah Tika kenal. Dia lumayan ganteng sih. Tinggi dan punya lesung pipit. Senyumnya manis lho”
“Lajeng, kula kedah matur, wowww ngaten?”
“Bentar dulu”
“Jangan lama-lama”
“Iya...iya... dia itu namanya... namanya... tukang pos. ahahahaha”
 “Tikaa...”
Sembari berlari mencoba mengejar Tika, bertanya-tanya juga. Ah, siapa ya?

Hujan mulai reda. Waktu telah beranjak. Sepuluh menit lagi perkuliahan dimulai. Kursi mulai penuh. Daun pintu mulai berderik, sebentar lagi ya, aku masih asik dengan rangkaian kata yang berderet mengajakku untuk terus dan terus telusuri. Ceritnya demikian menyentuh. Kisah pemuda yang hidup dalam kehendak orang tua. Menikah dengan Perempuan Jawa tapi masih belum seutuhnya cinta. Masih inginkan sosok-sosok yang lain. Yang lebih wah, seperti ratu padang pasir (Cleopatra). Hingga akhirnya, kala mulai tumbuh benih-benih cinta dan kerinduan yang mendalam, si perempuan dipanggil Sang Maha Kuasa. Tak boleh sesal diucap, tak perlu lagi tangis diguyurkan. Tapi itu lah jalan mereka. Nilai kehidupan yang bisa diambil, bagaimana kita mensyukuri apa-apa yang menjadi hak kita. Melakukan yang terbaik untuk orang lain meski pada awalnya pahit sebelum sesal menyapa.

Pagi berikutnya datang menyapa. Kali ini bingkisan merah marun itu teronggok di meja belajarku. Dengan pertanyaan yang sama seperti pagi kemarin. Lagi-lagi nggak terlihat identitas si pengirim. Tidak ada tanda lagi. Aneh aja.

Aku buka bingkisan itu. Buku berjudul "Cinta Laki-Laki Bisa" karya Asma Nadia. Kamu tahu Asma Nadia? Dia penulis cerpen juga novel terkenal di dunia pena. Ceritanya mengalun apik dengan kemasan bahasa yang unik. Biasanya demikian. Entah dengan buku yang ada di tanganku kini.

Masih akan terus bertanya dan mencari kode yang barang kali nantinya mampu memberi jalan untuk dapatkan inisial sekalipun. Hah !!! masya Alloh. Isbir... isbir ukhty... hmmm... Dialamatkan padaku, berarti dia memang mengenalku. Siapa ya?

“Dapat bingkisan dari siapa lagi mbak?”
“Masih seperti yang kemarin de”
“Oh ya?”
“Hmm... sampai kapan ya main ngumpet kayak gini terus?”
“Sampai... terdeteksi pastinya.”
“Iya de, esok pasti aku tahu siapa dia”
“Kalau udah tahu, kabari ya mbak”
“Apa ruginya kalau nggak?”
“Eh, itu juga kalau berkenan, hihihi”
“Hmm, kamu ini”

Hujan turun lagi. Ba’da asar, niat hati kerjakan tugas kuliah untuk lusa pun teralihkan untuk membaca buku yang dia kirim. Ya, ceritanya gampang diikuti, renyah dan menyentuh. Fiktif tapi terasa nyatanya. Manis sekali. Sayangnya, aku belum tahu siapa si pengirim buku-buku ini. Aku tak bisa menerka mereka-mereka yang tahu betul kesukaanku. Ah, mubah rasanya jika buku-buku ini nggak digandeng untuk turut serta nampangkan di privat library.

Kali ini menceritakan sepasang mahasiswa yang berprestasi, Jurusan Kedokteran. Mereka saling saling mencinta satu sama lain. Mereka mengambil keputusan untuk menikah, takut terjerembab dalam jurang nista, dalihnya. Pada awalnya mereka direstui, meski setelah diketahui perbedaan strata sosial menjadikan mereka tak dibolehkan bersama. Si perempuan adalah wanita cantik yang cerdas, nan shalehah juga berasal dari keluarga kaya, sedang laki-lakinya itu orang biasa, berasal dari keluarga biasa-biasa saja, dengan penampilan dan prestasi yang biasa-biasa saja. Demikian suci alunan cinta mereka, bertahan dalam ketidak pastian. Ketika alasan yang tak logis orang tua, tidak menikahkan hanya karena beda strata, mereka putuskan untuk menikah tanpa dihadiri kedua belah keluarga. Mereka akhirnya bersama meski harus pergi dari rumah keduanya. Membangun hidup dari sedikit uang dan tak punya tempat tinggal. Dan itu semua yang mengantarkan mereka pada kesuksesan, menjadi LULUSAN TERBAIK fakultas. Dalam kesulitannya, mereka bermunajat kepada Alloh, berusaha penuhi hidup dengan hak yang halal dan kebaikan. Menghadapi semua kesulitan berdua dengan cinta dan kasih sayang. Manisnya..."-*...

Kesetiaan, rela berkorban, kerja keras, sling berkasih sayang, rasa bersyukur yang demikian dalam, itulah yang menjadi tauladan dalam kisah manis mereka. Cerita berahir happy. Ya, seperti apa-apa yang manusia impikan yakni bahagia.

“Assalamu’alaikum”

Pesan itu masuk dalam ponselku. Nomor baru dominan delapan. Biasanya aku cuek dengan pesan tak beridentitas macam itu. Masih ada aktivitas lain selain berolah jari membalas pesan yang kurang penting. Sekilas, me-non aktifkan dan segera siapkan shalat magrib.

Dalam sujud panjang, terlantun do’a agar Allah senantiasa limpahkan kesabaran yang sangat untuk senantiasa langkahkan kaki di jalanNya yang lurus. Lakukan segala sesuatu hanya untuk mendapat ridhanya. Agar senantiasa dalam lindungannya juga kasih sayangnya.


Rasanya ada pesan lain dari teman-teman se kelas untuk penelitian. Cuek aja dengan pesan-pesan tak beridentiti. Kenapa harus terbawa emosi negatif? Mending diaktifkan lagi.
Satu pesan masuk,

“Assalamu’alaikum, dinda. Ini akang”

Hanya ada satu orang yang menyapaku demikian.

“Bagaimana kabar?”

Masih aku biarkan pesan itu menyapa. Masih sesak terasa jika harus kembali berkomunikasi dan bertegur, meski jarak jauh.

“Kemana alur ukhuwah kita jika tak satu pun respon dari dinda? Maafkan akang”

Astaghfirulloh. Makin sulitkah senyum itu kala sadar kalau kehidupan ini keras. Sekeras hati pertahankan ego yang kian memuncak. Maaf yang masih belum terijabah. Oh, sekuat apakah prinsip yang dahulu dipertahankan?

“Dinda, maafkan akang. Maafkan jika demikian sering menyakiti. Maafkan diri yang penuh khilaf ini.”

Makin perih rasanya. Cerita lalu memang teramat pahit untuk dikenang. Dan setelah sekian bulan terkemas rapat, kini ia akan merobeknya kembali?

“Dinda....”

Masih nggak ingin menanggapi. Biarkan mengiba. Aku nggak ingin suasana hati terkoyak kembali, sakit dan terpuruk lagi. Aku nggak ingin cerita hidup lebih menyedihkan dan memprihatinkan. Robby, berilah petunjukMu.

Adzan berkumandang, sejurus aku ambil wudhu. Bersiap mengadu padaNya. Sungguh berat aral yang menghadang. Akankah ini yang menjadi jalan yang Engkau pilihkan? Harus bagaimana hamba jalani ya Robb? Ketika enggan lagi komunikasi, itu sudah sedikit mengurangi resah ini.

Ponsel masih tenang tak berdering. Baterai dan kartu sim itu masih berjajar di atas diktat kuliahku. Biar mati saja. Asal lebih tenang. Lebih fokus dengan apa-apa yang realistis dan lebih menyenangkan jalani hidup. Enggan lagi terteror dengan permainan konyol sekenarionya. Bukankah kemarin aku terlalu banyak menjadi lakon dan sekarang tak lagi. Kesannya, iya ayo aja. Sekarang harus jadi sutradara yang lebih hati-hati dalam mengatur penokoh juga karakter yang harus dijalankan.

Tugas hampir usai. Jarum jam menunjukan pukul sepuluh malam. Setelah ini harus siapkan materi kuliah untuk esok. Minimal baca terlebih dahulu sebelum hadir di ruangan. Siap ajukan pertanyaan dan memberikan tambahan atau gagasan yang oke.

Konsentrasiku muai pudar. Tergoda untuk merakit kembali ponsel yang sedari tadi melambai-lambai. Apakah tindakan keliru jika balas semua pesannya. Aku rasa bukan keliru tapi menyalahi etika atau nggak. Ah, sama aja.

Masih berpikir etis atau nggaknya. Rupanya karang ego masih kokoh. Bukankah sekeras-kerasnya karang pada akhirnya juga akan runtuh diterpa gelombang? Karang yang dimana? Di pesisir pantai? Huh, itu statement yang kurang bijak jika dilontar dalam kondisi semacam ini.

Seberapa banyak perbandingan kebaikan dan keburukannya hingga membuatmu sekeras ini hah? Tak ingat kah kala dia perhatian dan penuhi beberapa inginanmu yang logis itu? Telah hilang kah memori indah dalam benakmu?

Dia? Dia mana yang engkau maksudkan? Dia yang dengan mudah memilih orang lain untuk bersanding di pelaminan? Dia yang kini bersuka cita ayuh bahteranya? Dia yang rela hati serahkan diri ini pada orang lain? Dia yang enggan sampaikan apa-apa yang ia pertimbangkan sebelum diambil keputusan final? Dia-dia-dia, bagiku dia telah pergi untuk selamanya!!

Perang batin itu terus berlanjut. Apakah nurani dan perasaan yang saling beradu? Atau bahkan logika dan perasaan yang saling bersikukuh dalam pendirian mereka masing-masing? Entah lah, aku pun masih terombang ambing.

Kalap yang jadikan diri berlari temui gemrecik air untuk dibasuhkan pada anggota wudhuku. Kiranya lebih tenang lagi dengan tunaikan dua rokaat shalat. Setelah itu mulai sembunyikan raga dibawah selimut hangatku. Ya, satu-satunya benda yang mampu tenangkan dalam musim hujan dan gerah yang sesekali melanda.

“Selamat pagi mbaku yang cantik”
“Pagi adeku yang manis”

Uma, membawa secangkir teh manis bersama sepiring nasi goreng.

“Hmm, nikmatnya. Buat siapa nih?”
“Buat aku dan mbaku yang lagi GaBer”
“GaBer, apa tuh?”
“Galau Berat, hehehehe”
“Hmm, apa nggak sebaliknya nih?”
“Ye... nggak ngaku pula. Udah sini, nicip nasgor buatanku”

Bersantap nikmati pagi yang cerah. Mudah-mudahan cerah juga jalam berpikirku. Aku sendiri belum rapikan diri. Masih ingin lama-lama menatap lembar kertas untuk menyusun latar belakang pengajuan judul skripsi. Ya, semester tua hampir tak lagi dirasa. Ingin segera lari tinggalkan kota Satria.

“Sedari pagi, belum ada bingkisan ya?”
“Emang harus dikirim tiap hari?”
“Tau...”
“Aneh juga ya de, kira-kira kamu tahu siapa?”
“Mbak tuh yang lebih aneh, ckckckckck. Resiko memang, resiko orang cantik jadi banyak fansnya.”
“Ah, bisa aja”

“Ara..., ada yang calling kamu nih”
Linlin dari tempat nyetrika mulai bergaduh.
“Iya... iya.. bentar. Angkat aja dulu”
“Nggak ah, nggak pengen tuh”
“Hmm, tolong deh”
“Ogah lah”

“Angkat gih mba, siapa tahu fee artikel atau cerpen yang dimuat dari surat kabar”
“Betul juga de, moga aja”

Berjalan menuju stop kontak. Aih, nomor tak dikenal.

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam wrwb”

Suara itu nggak asing. Dia yang dua bulan lalu bercakap denganku. Ya, dia, benar, dia lah yang sempatkan bersantap sahur di pagi buta di warung dekat kos-kosan. Dia yang berpamit hendak berlayar. Arungi samudra kehidupan. Degup jantung ini mulai berdebum. Masya Alloh, seharusnya tidak aku angkat. Robby, bagaimana ini?

“Dinda, bagaimana kabarnya?”

Err, masih lembut tuturnya. Meski tak selembut apa-apa yang sudah ia lakukan padaku. Tergagap ucapkan,

“Alhamdulillah sehat”
“Maafkan akang. Akang nggak bermaksud...”
“Sudah lah, nggak perlu dibahas. Aku kira masih banyak aktivitas lain yang menungguku pagi ini”
“Aku mohon, dengarkan aku. Sebentar saja”
“Apa masih ada yang perlu dibicarakan setelah semuanya berakhir?”
“Dinda, apakah kita akan menjadi kawan atau lawan?”
“Cukup, aku rasa cukup semua itu terjadi. Jangan kita perpanjang. Dan memang ini tidak adil. Jangan hubungi ana lagi. Assalamu’alaikum”

Mulai berkaca rasanya. Aku tak ingin mereka saksikan tetes air mata ini. Kamar menjadi tempat kontemplasi yang cocok kala dipeluk duka. Duduk mematung didepan cermin. Bertanya dan saksikan mata yang mulai memerah.

Semua tidak perlu terjadi jika hati ini tidak maafkan ia kala itu. Jika hati ini tak suka lagi padanya. Jika peristiwa-peristiwa itu tidak menyambangi. Jika ia tidak
temukan kunci yang telah menutup erat pintu-pintu hati. Semua telah hancur dan kini hanya sesal yang bergelayut. Tanya mengapa pun bukan menjadi penawar yang menentramkan. Semua berubah menjadi benci dan murka yang demikian dalam.

“Dinda, ana ingin bertemu. Ana ingin sampaikan sesuatu yang tidak mungkin disampaikan melalui perantara. Kapan ada waktu?”

Pesan itu muncul kembali.

“Nggak akan pernah ada waktu untuk itu”

Kadang tak tega berlama-lama sisipkan marah dan membiarkannya. Hah, perasaan mulai mendominasi.

“Apa dinda akan memutuskan ukhuwah diantara kita?”
“Mengapa beranggapan demikian?”
“Dengan sikap dinda yang demikian, dengan tidak lagi mau memaafkan, dengan apatis yang sekarang ada”
“Mungkin karakterku yang sesungguhnya. Hidup ini demikian keras menempa hingga membentukku demikian. Aku juga tak begitu paham dengan egomu yang tega mencampakan”
“Dinda, mengertilah. Ini semua untuk kebaikan kita”
“Kebaikan mana yang antum maksudkan?”
“Ketika mengurai cinta, ini lah cinta yang sesungguhnya”
“Sudah lah, tak perlu bahas itu”
“Dinda harus tahu”
“Nggak, silahkan cari tema lain untuk dibicarakan. Kalau hanya akan membahas itu silahkan matikan hapus nomor saya”
“Dinda, kita harus bertemu”
“Nggak akan pernah”
“Ana mohon”
“Itu akan lebih menyakiti satu sama lain”
“Meski untuk yang terakhir kalinya?”

Ketika penuhi keinginannya, bisa ditebak. Aku lah yang merugi. Ya, dengan prinsipku yang goyah, dengan ketidak konsistenanku, dengan kelemahanku, juga aku nggak ingin menjadi pemisah diantara mereka. Nggak ingin ada fitnah lantaran seseorang menyaksikan perjumpaan kami. Itu tidak akan pernah aku penuhi.

“Dinda, sudah selesaikan buku Pudarnya Pesona Cleopatra?”

Bukankah itu buku yang kemarin aku terima.

“Itu buku yang kisahnya mirip dengan apa yang aku rasakan kini. Pemeran aku melekat pada diri ini. Meski bagian-bagian awal yang sekarang aku rasakan. Bagian akhir itu sama sekali tidak aku inginkan. Aku harus memotong kisah itu, dinda.”
“Masya Alloh. Jangan menganggap alur dari cerita itu realita yang harus antum jalani. Hiduplah bahagia dengan orang yang antum pilih”
“Bukan dia yang ana pilih”
“Akang, jangan biarkan itu mempengaruhi. Itu hanya cerita fiktif yang tidak ada pelaku sesungguhnya di dunia ini. Itu fiktif belaka”
“itu realita. Itu yang aku rasakan dan itu benar-benar terjadi”
“Akang, nggak boleh menganggap demikian. Berusahalah mencinta dan menyayanginya, karena itu pilihan hidupmu”
“Dinda, dia bukan pilihanku. Ana masih berharap kita bersama”

Astaghfirulloh, jangan biarkan ini terjadi padaku. Jangan biarkan syetan mempengaruhiku. Ini jalan yang buruk. Teramat buruk untuk dilalui. Tunjukan jalan keluar ya Robb.

“Dinda, ana ingin kita berjumpa. Merangkai kembali kisah kita supaya berakhir bahagia. Dinda inginkan itu kan?”


Semua sudah terlambat. Semua sudah terjadi. Semua makin carut-marut. Ini tidak perlu berkepanjangan. Oh, demikian kah jalan yang harus hamba tempuh?
Aku masih bisa lakukan aktivitas seperti biasa. Meski perhatianku tersita padanya. Aku berusha untuk berpikir bijak, alokasikan full untuk kegiatan yang aku garap, untuk proposl pengajuan judulku.

Berganti kartu GSM supaya ia tak lagi menghubungiku pun jadi pilihan. Itu sangat mengganggu dan membuatku tak nyaman. Dia yang telah mematahkan harapanku, dia yang telah memisahkanku dari beberapa moment yang harusnya aku ikuti. Dia yang menyeretku hingga sesal itu bergelayut. Hah, kali ini tak akan aku biarkan ia muncul dalam kehidupanku kembali.

Takdir telah membuktikan. Apa-apa yang kita inginkan belum tentu diinginkan juga oleh Alllah. Apa-apa yang menurut kita baik, belum tentu baik juga menurut Allah. Inilah keputusan yang harus diterima, agar kelak apa-apa yang dijalani diridhai juga oleh Alloh. Ini bagian dari takdirNya. Ya, aku yakini itu, setelah semua upaya telah kami lakukan dan ternyata hasilnya masih juga demikian. Aku tidak punya daya apa pun untuk memaksakan kondisi-kondisi yang tak seharusnya beralur demikian hingga akhirnya kami menyerah dalam takdir.

Maaf jika syawal berikutnya aku terima pinangan dari pemuda yang dahulu sering mengisi waktu senggang kala tak kenal ungkap cinta. Restu mereka telah kami kantongi. Semoga ini lah yang memang Alloh janjikan. Kebahagiaan, ya kebahagiaan untuk masa depan.

0 komentar:

Posting Komentar