...ZAWAJ...


Pengakuan sebagai Tauladan

Beberapa hari ini aku tak bisa melakukan aktifitasku seperti biasa. Makin hari, makin bertambah berat kaki ini melangkah. Ya, usia kandunganku mencapai tujuh bulan, setelah dua tahun kami arungi bahtera. Tapi ada dia, dia yang mampu mengambil alih pekerjaan rumah. Dia yang belanja di pasar, dia yang mencuci baju, piring, gelas, dia yang mengepel lantai hingga menyetrika. Aku hanya bisa nyapu lantai dan memasak saja. Padahal biasanya semua aku yang hendel. “Adek, tak usah sungkan. Mamas biasa lakukan ini sebelumnya”. Pernyataan yang membuatku makin lega. Dia adalah sosok yang aku kagumi, aku banggakan dan nggak ada kata yang tepat bisa diungkapkan kecuali rasa syukurku pada Illahi yang telah mempertemukan kami.
Semalaman ketika mata ini enggan terpejam karena si kecil dalam rahimku menendang-nendang dindingnya, dia lah yang meronda. Menemani, mengelus-elus perut ini dan mengajak si kecil untuk lebih tenang. Ulasan senyumnya itu yang demikian mendamaikan. Sabar, perhatian,penuh kasih sayang, sungguh aku makin sayang padanya.
Hari-hari penantian panjang menunggu si kecil lahir kami lalui dengan kebersamaan yang rukun. Seutuhnya lembaran-lembaran itu tergores cerita-cerita manis yang sayang jika tidak dituliskan.
Ketika pagi menjelang, dia akan terbangun di sepertiga malam, dirikan tahajud, panjatkan do’a pada Tuhan. Biasanya kami berjama’ah, tapi pagi ini dia tak tega bangnkan aku. Tadinya sudah ku buka kelopak mataku. Dia pun memandangku, seperti biasa ulasan senyumnya mengembang. “Ade istirahat dulu aja ya”. Mengusap pipiku dan mencium keningku sebelum beranjak. Subhanallah, nikmat Tuhan mana yang hendak didustakan.
Kini dia berada di atas sajadahnya. Khusuk dan penuh makna. Lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an mengalun demikian lembut. Merasuk dalam jiwa, menghias pagi buta dengan kata-kata suci. Demikian bangga aku miliki sesosok ikhwan  ini. Dia yang tidak pernah terduga sebelumnya. Sama sekali tak ada yang menyangka. Sungguh, demikian Indah rencanaNya menyatukan kami dalam satu ikatan.
Ketika adzan subuh berkumandang, segera aku susul dia. Melipat selimut dan menuju tempat wudhu. Tunaikan dua rakaat salat fajar, salat utama yang keutamaannya itu melebihi alam semesta dan isinya. Aku kenakan mukenaku, menggelar sajadah di belakang imamku.
Setelah tunaikan salat fajar, kami salat subuh berjama’ah. Khusuk dan demikian damai hati ini memnengar suara merdunya. Seperti biasa, setelah salat subuh dan berdzikir bersama, dia akan lebih dekat dan ungkapkan betapa kami sangat sayang dan enggan mau lama jauh. Kecup bibirnya akan mendarat di keningku untuk kesekian kali. Mendekatkan telinganya di perutku dan menciumi si kecil. Dia akan tiduran di pangkuanku sembari bercerita. “De-de sayang, ini abi. Dede bangun ya, nie umi sama abi udah salat. Dede udah salat ya”. Lapisan kulit perutku akan bergetar. “Umi, coba liat, adek bangun nie”. “Iya sayang, umi merasakan. Dede mungkin lagi tersenyum liat umi sama abi”. “Hehehe”.
Begitu seterusnya, sebelum beraktifitas, setiap hari membangun kedekatan dan hubungan yang demikian mesra. Aku pun enggan paparkan apa-apa saja yang kami lakukan setelah subuh menjelang. Yang pasti kami awali hari dengan senyum termanis yang akan kami suguhkan.
Tak bisa dieja, tak bisa dibaca oleh diriku sendiri, bahkan teman-teman yang biasa kami berkumpul jalani kegiatan bersama pun tak mampu menemukan adanya suatu ikatan suci diantara kami. Karena memang kami jalani rangkaian waktu sebelum peristiwa sacral itu, biasa saja layaknya bergaul dengan teman sebaya. Ah, demikian rumit kisah kami yang lalu. Yang pasti aku sangat bersyukur telah lalui peristiwa-peristiwa itu yang pada akhirnya menyatukan kami di sini.