Kemana Rumahku Berpindah ?


“Nak, kemana esok kita pindah? Tetangga sudah mulai berkemas, sedang kita hanya punya sebidang tanah ini. “
“Pindah Ma ?”
“Iya sayang, lempeng tanah tak mampu lagi menopang pondasi rumah kita. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Tanah tak lagi bisa kita genggam.”
“Ma, Ais  seneng disini”
“Sayang, suatu hari nanti pasti ada tempat yang lebih nyaman untuk membesarkanmu. Ais tau, dahulu belakang rumah kita tanah masih jauh jaraknya dari jurang. Banyak pohon-pohon besar, bamboo, kopi, mbawang, kelapa, alba, bahkan pohon pule yang sudah jarang ditemui ada. Dulu mama dan teman-teman mama suka main di kebun belakang rumah. Naik pohon kopi yang dulu tinggi-tinggi milik Embah. Tapi sekarang semua sudah tak bersisa, hanya kenangan saja yang ada. Seakan tidak ada lagi tempat, sekedar menyokong rumah kita.“
“Gitu ya ma?”
“Iya, kamu harus tau itu. Pertama kali longsor karena pembukaan jalan aspal di bawah sana. Sepanjang si Koser mulai runtuh. Meski beberapa tahun bisa bertahan, pada akhirnya sekarang tanah tetap nggak mau menyatu dan begini kondisi sekarang. Besok, kalau Adek udah gede, rajin-rajin tanam pohon ya, terutama yang banyak akarnya. Supaya tanah bisa bertahan tanpa harus menggeser lingkungan diatasnya”
“Oke mama, besok Ais tanam cemara atau pinus yang kayak di hutan sana ya?”
“Pinter, apa pun boleh Adek tanam. Sekarang mandi dulu ya”
“Ya mama”
 
Lantunan mereka tidak akan terdengar lagi. Ya, tanah mengusirnya dari rumah yang bertahun-tahun dihuni. Banyak cerita, suku-duka yang kini hanya tanah merah menganga lebar yang siap memaksa kami pindah kapan pun. Ketika hujan turun menjadikan gundah kalau-kalau kami harus segera tinggalkan tempat berteduh ini.
Alam, marahkah engkau pada kami ?
Tak bolehkah kami tinggal lebih lama lagi?
Kesempatan yang kedua untuk menghijaukan lapisanmu, memperbaiki ketidak pahaman kami tempo lalu. Adakah kesempatan itu?
“Berkesah pun tak akan kembalikan tanah seperti semula. Kini rumah anakku yang belum lama ini dibangun juga harus segera berpindah. Engkau lihat nganga tembok yang tak lagi menyatu dengan bagian yang lain. Teramat kuat lempeng tanah ini memisahkan. Hanya lubang-lubang ini yang bisa di tutup, supaya tidak menganga lebih lebar. Teramait paksa alam mengusir kami. Andai engkau tahu seperti apa lingkungan ini dahulu. Lingkungan asri dengan rerimbun daunan juga pohon-pohon yang melekat kuat diatas lapisan tanah ini. Penduduk yang ramah dan memang masih saudara, keturunan. Kami harus be\rpindah satu-persatu dan meninggalkan keakraban kami diatas tanah merah menganga yang makin tumbang terbawa reruntuhan batu cadas. Haruskah kami terusir oleh kemarahanmu wahai alam ? Sampai kapan engkau selesaikan marahmu? Tidak kah kasihan saksikan kami ? Tidak ada yang mendengarkan jerit kami, kau tahu duhai alam?”



Dan kau lihat bawah pekarangan rumah kami. Disana tersisa sedikit rerumputan dan tanah merah yang demikian lebar. Beberapa warga masih kesulitan untuk melaluinya. Ketika kami tak lagi sadar, kami anggap ini tak lumrah. Mana boleh tanah menggusur peradaban kami. Peradaban yang kami bangun sekian tahun bersama-sama, demikian mudahnya tersingkir dan terbelah.
Tuhan, jika ini teguranmu, atas kesalahan yang kami lakukan di masa lalu. Maafkan khilaf kami Tuhan. Berilah kesempatan untuk mengelolanya kembali. Jika Engkau berkenan, biarlah kami huni dengan segala keterbatasan kami. Hanya kepadamu ya Robb, kami memohon pertolongan dan kasih sayangMu.

...ZAWAJ...


Pengakuan sebagai Tauladan

Beberapa hari ini aku tak bisa melakukan aktifitasku seperti biasa. Makin hari, makin bertambah berat kaki ini melangkah. Ya, usia kandunganku mencapai tujuh bulan, setelah dua tahun kami arungi bahtera. Tapi ada dia, dia yang mampu mengambil alih pekerjaan rumah. Dia yang belanja di pasar, dia yang mencuci baju, piring, gelas, dia yang mengepel lantai hingga menyetrika. Aku hanya bisa nyapu lantai dan memasak saja. Padahal biasanya semua aku yang hendel. “Adek, tak usah sungkan. Mamas biasa lakukan ini sebelumnya”. Pernyataan yang membuatku makin lega. Dia adalah sosok yang aku kagumi, aku banggakan dan nggak ada kata yang tepat bisa diungkapkan kecuali rasa syukurku pada Illahi yang telah mempertemukan kami.
Semalaman ketika mata ini enggan terpejam karena si kecil dalam rahimku menendang-nendang dindingnya, dia lah yang meronda. Menemani, mengelus-elus perut ini dan mengajak si kecil untuk lebih tenang. Ulasan senyumnya itu yang demikian mendamaikan. Sabar, perhatian,penuh kasih sayang, sungguh aku makin sayang padanya.
Hari-hari penantian panjang menunggu si kecil lahir kami lalui dengan kebersamaan yang rukun. Seutuhnya lembaran-lembaran itu tergores cerita-cerita manis yang sayang jika tidak dituliskan.
Ketika pagi menjelang, dia akan terbangun di sepertiga malam, dirikan tahajud, panjatkan do’a pada Tuhan. Biasanya kami berjama’ah, tapi pagi ini dia tak tega bangnkan aku. Tadinya sudah ku buka kelopak mataku. Dia pun memandangku, seperti biasa ulasan senyumnya mengembang. “Ade istirahat dulu aja ya”. Mengusap pipiku dan mencium keningku sebelum beranjak. Subhanallah, nikmat Tuhan mana yang hendak didustakan.
Kini dia berada di atas sajadahnya. Khusuk dan penuh makna. Lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an mengalun demikian lembut. Merasuk dalam jiwa, menghias pagi buta dengan kata-kata suci. Demikian bangga aku miliki sesosok ikhwan  ini. Dia yang tidak pernah terduga sebelumnya. Sama sekali tak ada yang menyangka. Sungguh, demikian Indah rencanaNya menyatukan kami dalam satu ikatan.
Ketika adzan subuh berkumandang, segera aku susul dia. Melipat selimut dan menuju tempat wudhu. Tunaikan dua rakaat salat fajar, salat utama yang keutamaannya itu melebihi alam semesta dan isinya. Aku kenakan mukenaku, menggelar sajadah di belakang imamku.
Setelah tunaikan salat fajar, kami salat subuh berjama’ah. Khusuk dan demikian damai hati ini memnengar suara merdunya. Seperti biasa, setelah salat subuh dan berdzikir bersama, dia akan lebih dekat dan ungkapkan betapa kami sangat sayang dan enggan mau lama jauh. Kecup bibirnya akan mendarat di keningku untuk kesekian kali. Mendekatkan telinganya di perutku dan menciumi si kecil. Dia akan tiduran di pangkuanku sembari bercerita. “De-de sayang, ini abi. Dede bangun ya, nie umi sama abi udah salat. Dede udah salat ya”. Lapisan kulit perutku akan bergetar. “Umi, coba liat, adek bangun nie”. “Iya sayang, umi merasakan. Dede mungkin lagi tersenyum liat umi sama abi”. “Hehehe”.
Begitu seterusnya, sebelum beraktifitas, setiap hari membangun kedekatan dan hubungan yang demikian mesra. Aku pun enggan paparkan apa-apa saja yang kami lakukan setelah subuh menjelang. Yang pasti kami awali hari dengan senyum termanis yang akan kami suguhkan.
Tak bisa dieja, tak bisa dibaca oleh diriku sendiri, bahkan teman-teman yang biasa kami berkumpul jalani kegiatan bersama pun tak mampu menemukan adanya suatu ikatan suci diantara kami. Karena memang kami jalani rangkaian waktu sebelum peristiwa sacral itu, biasa saja layaknya bergaul dengan teman sebaya. Ah, demikian rumit kisah kami yang lalu. Yang pasti aku sangat bersyukur telah lalui peristiwa-peristiwa itu yang pada akhirnya menyatukan kami di sini.

SuPer Kakang Adie


SURAT PERJNJIAN KAKANG ADIE
Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama   : Azzahra Altafunnisa
Ttl        : Purbalingga, 8 Desember 1990
Alamat : Gunung Wuled, Rembang, Purbalingga, Jateng
Selanjutnya disebut sebagai pihak kesatu

Nama   : Biyan Raharjo
Ttl        : Purbalingga, 26 Juni 1990
Alamat : Wlahar, Rembang, Purbalinga, Jateng
Selanjutnya disebut sebagai pihak kesatu

Nama   : Ano Arya
Ttl        : Purbalingga, 26 Juni 1990
Alamat : Wirasana, Purbalingga Wetan, Purbalingga, Jateng
Selanjutnya disebut sebagai pihak kesatu

Nama   : Rahman Raharjo
Ttl        :
Alamat :
Selanjutnya disebut sebagai pihak kesatu

Keempat belh pihak telah sepakat untuk memperlakukan dan menganggap keempatnya sebagai keluarga dengan pasal sebagai berikut :
Pasal 1
Antara sesame kakak adek saling menyayangi, pengertian, saling menghormati, kompak dengan memperhatikan tata nilai dan norma yang berlaku.
Pasal 2
Diantara anggota boleh memiliki pasangan tanpa mencampuradukan masalah pribadi atau kepentingan pribadi dengan kepentingan keluarga.
Pasal 3
Diantara anggota keluarga tidak boleh ada hubungan yang istimewa
Pasal 4
Sesame anggota wajib membantu memecahkan masalah anggota keluarga yang lain yang membutuhkan tanpa mengharap balasan dan tidak berlebihan
Pasal 6
Apabila terjadi kesalah pahaman dalam perjanjian ini keempat belah pihak akan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Apabila mengalami jalan buntu keempat belah pihak bersedia untuk menyudahi perjanjian ini dengan saling mentraktir ke kantin atau member cindera mata tanpa rasa dendam.


                                                                                                                                           September 2006
               Pihak 1                            pihak 2                            pihak 3                            pihak 4

  (................................)   (..................................)   (.....................................)   (................................)


lima tahun yang lalu surat itu pernah di tulis. Berawal dari iseng aja. Awalnya buka buku bahasa Indonesia yang kebetulan materi'a Surat Perjanjian dagang. Jadi ingat, kala itu ditunjukan, meski pada akhirnya pada tertawa karena isinya yang konyol. Beberapa paal masih kosong sih, berhubung tertabrak bel masuk sekolah, jadi ya ditinggal n kga ada follow up.

kesannya memang gelo, tapi y mau bagaimana lagi...hmmm...



...Jasminum sambac...


 Ketika pagi datang, sibak selimut hendak beranjak menuju aliran air. Setelah salat, ada yang buatin kopi+susu anget. Siapa dia ? Dia si cantik Novi, terima kasih ya. Duduk bersanding dengan embah utie juga sahabatku, IMMawati Riska. Tak sekedar ngopi susu, di hadapan kami ada berjajar makanan ringan. Hmm.. meski rada dingn-dingn gitu. Yang pasti suasana lebih hangat dengan obrolan ringan dengan mbah utie.

Matahari yang kian menyingsing, menarik kami untuk segera berbaur di luar. Menuju rumah IMMawan Fikri, disana ada Kang Mudhi yang satu perjalanan dengan kami. Pagi itu dia harus kembali ke kampus, ada ujian. Sarapan bareng menjadi agenda berikutnya setelah medang kopi susu.

Selesai sarapan, susuri jalan aspal yang demikian lurussss dengan hilir mudik kendaraan yang tiada henti. Menuju bentang alam maha dahsyat. Hijau dedaun melati, hmmm. Meski embun demikian tebal tidak menghalangi kami turun ke rimbunan dedaun hijau itu. Melati nan puti itu lagi di pilah-pilih oleh beberapa ibu-ibu. Mereka memetik kuncup bunga-bunga melati. Konon kuncup bunga-bunga itu nantinya mau dijadikan campuran daun teh. Bisa kebayang kan harumnya wangi melati.

Kawan-kawan tahu kan, kalau bunga melati itu salah satu Puspa Bangsa atau simbol nasional yaitu melati putih (Jasminum sambac), karena bunga putih kecil yang harum ini melambangkan kesucian dan kemurnian, serta dikaitkan dengan berbagai tradisi dari banyak suku di negara ini. Bukan hanya itu, bunga ini merupakan suatu keharusan hiasan rambut pengantin dalam upacara perkawinan berbagai suku di Indonesia, terutama suku Jawa dan Sunda.

Jenis lain yang juga populer adalah melati gambir (J. officinale). Di Indonesia nama melati dikenal oleh masyarakat di seluruh wilayah Nusantara. Nama-nama daerah untuk melati adalah Menuh (Bali), Meulu cut atau Meulu China (Aceh), Menyuru (Banda), Melur (Gayo dan Batak Karo), Manduru (Menado), Mundu (Bima dan Sumbawa) dan Manyora (Timor), Melati Salam (UMI), Malete (Madura) serta Beruq-beruq(Mandar).
Di Italia, melati casablanca (Jasminum officinalle), yang disebut Spanish Jasmine ditanam tahun 1692 untuk dijadikan parfum. Tahun 1665 di Inggris dibudidayakan melati putih (J. sambac) yang diperkenalkan oleh Duke Casimo de Medici. Dalam tahun 1919 ditemukan melati J. parkeri di kawasan India Barat Laut yang kemudian dibudidayakan di Inggris pada tahun 1923.

Di antara 200 jenis melati yang telah diidentifikasi oleh para ahli botani baru sekitar 9 jenis melati yang umum dibudidayakan dan terdapat delapan jenis melati yang potensial untuk dijadikan tanaman hias. Sebagian besar jenis melati tumbuh liar di hutan-hutan karena belum terungkap potensi ekonomi dan sosialnya. Tanaman melati termasuk suku melati-melatian atau Oleaceae.
Jenis, varietas dan ciri-ciri penting (karakteristik) tanaman melati adalah sebagai berikut:
Adapun jenis dan varietes Melati yang ada di Pulau Jawa antara lain:

Bunga melati bermanfaat sebagai bunga tabur, bahan industri minyak wangi, kosmetika, parfum, farmasi, penghias rangkaian bunga dan bahan campuran atau pengharum teh, seperti teh melati yang populer di Indonesia.

Oke kawan, yang pasti Bunga Melati akan selalu mewangi tatkala bermekaran. Hmmm... terasa wangiiiiinya...

Musisi Jalanan

Terpana ketika mendengar syair yang dilantunkan para "Musisi Jalanan". Unik, mengundang perhatian. Bagaimana tidak, terkadang realita kehidupan di selipkan dalam syair mereka. Bukan hanya itu, kritik sosial pun turut dilontarkan. Seperti, ".........................................". Ah, kawan-kawan sudah nggak asing dengan syair-syair mereka, bukan?

Hingga suatu hari ada sekelompok remaja yang menyambangi rumah. Kala itu, beberapa kawan-kawan satu kampus sedang kumpul bareng. Menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Kebetulan beberapa dari kita ada yang gandrung dengan musik, terutama gitar. Kontan saja tanpa basa-basi langsung nyletuk, "De, minta syair and kunci gitarnya donk". Hmm... tak pikir panjang, mereka langsung saja menggoreskan tinta itu di lembaran kertas yang disodorkan.

Mudah sekali menuliskan kata demi kata itu. Hingga tersusunlah bait-bait panjang yang memenuhi lembaran putih tadi. Ya, syair lengkap dengan kunci gitarnya. Sebelum mereka melangkah pergi, mereka nyanyikan lagu itu dengan semangatnya yang menggebu.
Sosok bukan indikator penilai yang mutlak. Tampilan yang awut-awutan, muka kusam, kulit yang hitam terbakar matahari, tubuh yang kurus, kering, rambut tak pernah di sisir, bau apek dan kurang bersahaja, merupakan tampilan yang membedakan "Musisi Jalanan" dengan komunitas lain.

Belum lama ini berjumpa dengan salah, satu group dari mereka. Sempat ngobrol, sedikit mengenal siapa "Musisi Jalanan" yang sebenarnya. Meski sedikit celah saja yang baru bisa digali datanya. "Kita ngamen hanya untuk ngisi waktu, kalau ada pekerjaan kita simpan dulu gitar an syair ini", Mungkin saja dari mereka ada yang melakukan sekedar hobi atau sambilan seperti akuan itu. "Kami menghibur orang yang bunek otaknya". Benarkah demikian ? Saya kira kawan-kawan bisa menilai sendiri.

"Hari senin sampai kamis kami "Musisi Jalanan macam kami ini punya komunitas mba. Jadi suatu saat bisa kumpul-kumpul bareng, sekedar berbagi cerita. Hehehe". Bisa dikatakan ada oranisasi yang menampung mereka. Siapa ketua dan bidang apa saja yang digarap, belum sejauh itu kami kaji.

"Lagu yang dibawkan mah biasanya dari ngarang-ngarang sendiri. Paling aransemen ulang dari musik-musik yang biasa kami pegang ini (gitar)." Mungkin saja dari mereka ada team khusus yang biasa aransemen, penyesuaian irama alat musik juga latihan koor bersama. Wah, kayak paduan suara aja. Aresiasi yang tinggi  patut untuk mereka.

Teringat perjalanan hidup teman seperjuangan yang kini telah berkumpul kembali dengan anggota keluarganya. "Aku terbiasa tidur di kolong jembatan. Bersama orang-orang terbuang dan tersita haknya. Ya, tersita karena penggusuran yang gencar terjadi. Ah, bukan alasan ketika harus mengusir mereka karena menduduki tanah bertuan. Terlalu biasa menjelajah dari satu terminal ke terminal lain. Bahkan lebih sering dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak berani ketika harus menempuh perjalanan panjang antar terminal bus. Berbeda jika di kereta. Bisa dari gerbong satu ke gerbong berikutnya. Bahkan bisa berhenti di kereta semau hati. Jika ngamen suatu hal yang biasa, maka lebih luar biasa lagi ketika seseorang menawariku mengkonsumsi narkoba, bahkan meneguk minuman keras sekalipun. Itu dulu ketika diri ini melalang buana di suatu tempat yang mengkondisikan diri ini berbuat demikian."

Motif yang berbeda menjadikan penulis lebih tertantang untuk menggali data lebih banyak tentang mereka. Hingga suatu ketika ada kesempatan berkunjung ke bagian timur Pulau Jawa. Kebetulan naik kereta. Perjalanan panjang (10 jam) menuju IAIN Sunan Ampel Surabaya. Perjalanan pulang mendapat kursi di gerbong pertama di kursi paling depan. Berempat di kursi yang berhadapan. Sebelah kursi yang kami duduki ada beberapa penjual jajan dan "Musisi jalanan". Mereka sedang ngobrol dengan akrabnya. Tak hiraukan kami yang disekeliling mereka. Mungkin saja mereka terbiasa dengan situasi yang demikian.

"Kau tahu si... sekarang sudah menikah lho". "Masa sih, bukane kemarin sama si ..., menjelajah ikuti Logawa ke Yogyakarta". "Ah, itu kemaren. Udah lama kali". "Wah, kita nggak bisa ketemu lagi donk". "Eh, bukane itu lebih bagus, mendapatkan pemegang kunci hatinya". "Hehehehe". Si ibu paruh baya menimpali pembicaraan mereka.
"Tau nggak, kemaren aku sms si dia suruh ngebangunin aku di jam dua, ternyata beneran lho". "Jam dua, ngapain? Ngronda di stasiun mana?" xixixixi... yang lain ikutan ketawa. "Hus, apaan kamu ini. Kita boleh lah begini. Melalang buana, mengais rizzki. Tapi ya jangan sampai lupa pada si empunya hidup. Suatu saat kau akan mengerti cah."

Aku sendiri hanya tersenyum menyaksikan mereka. Sesekali melihat jendela luar dan pura-pura tidak menyimak pembicaraan itu. Meski sebenarnya diri ini jadi merasa kerdil di hadapan mereka. Sedemikian tebal iman mereka hingga diri ini tersengat dan teringat akan kata yang beliau ucapkan. Masyaallah.

Tidak hanya itu, teman-teman di kampus sendiri mengaku ingin turut larut dalam kehidupan mereka. Entahlah, mungkin kehidupan yang sedikit berbeda menjadikan kita lebih menikmati dan mengerti akan makna kehidupan yang sesungguhnya.

Kau tahu kisah Arai dan Lintang di Sang Pemimpi karya Andrea Hiranata ? Mereka menghabiskan libur musim panas untuk mengamen di jalanan. Kawan-kawan tahu apa yang mereka kerjakan? Membuat atraksi berkelompok sembari berkeliling dari satu negara ke negara lain. Ah, mimpi-mimpi itu suatu saat akan kita raih. Tak sekedar berkeliling Eropa seperti mereka tetapi apapun, apapun yang kita inginkan, insyaallah Tuhan berikan jalan menuju ke sana.

Prosesi Gula Merah


Matahari mulai naik dari peraduannya. Cahayanya menembus celah kecil jendela kayu tua itu. Burung-burung bernyanyi diatas ranting-ranting kering itu, sesekali melangkah naik turun sekan mencari sesuatu. Embun masih ada dipucuk dedaunan. Semalam hujan turun deras. Bukit nan jauh disana tampak begitu mempesona. Pemandangan hijau nan segar, meski bentuknya berbeda dari tahun yang lalu. Penebangan pohon yang tak terkendali menjadikannya botak tak penuh dengan rerimbunan daun.
Disebrang jalan terlihat ibu paruh baya menggendong bakul yang sarat. Dengan teko di tangan kirinya dan rantang di tangan kanannya. Beban yang berat bertumpu pada satu titik. Luar biasa. Di sebelah tak jauh darinya, seorang bocah mengekor. Mungkin cucu atau bahkan anaknya.
Jadi teringat si Mbok. Melihat mereka, mungkin dulu akulah yang jadi bocah itu. Melangkahkan kaki menuju sumber penghidupan. Singgah dari rumah ke rumah, menghampiri ibu-ibu yang sekedar melihat barang dagangan yang kami jajakan. Tak jarang setelah diacak-acak  kemudian menawar tapi tak jadi beli. Kalaupun ada, kredit. Maklum di desa. Pembayarannya pun terkadang barter dengan hasil pertanian mereka, palawija, sayur, gula merah juga kami terima.
Hingga pada suatu hari, di sebuah rumah yang tak pantas disebut rumah. Gubuk lebih tepatnya. Di sana seorang lelaki tua bersama istrinya sedang mengaduk cairan kental di kuali besar. “Dukk…duk…duk…” Pengoleh panjang itu beradu dengan lapisan wadah yang sesekali bergerak memutar. Ya, tenaga ekstra mesti dikeluarkan untuk mengolahnya. Cairan itu makin lama makin mengental. Coklat pekat dengan sedikit buih-buih kecil koyakan pengoleh. Kurang lebih satu jam pemandangan yang sama aku saksikan sembari mendengarkan obroan ala orang tua. Setelah itu barulah cairan kental itu di tuangkan ke cetakan-cetakan bulat setengah lingkaran yang melekat pada sebuah papan kayu khusus.
Dengan cepat mereka penuhkan lubang-lubang itu. Sesekali mengambil lebih banyak di kuali besar dan dengan benda semacam gayung dan sendok besar, turut membantu memposisikan. Telaten dan hati-hati seakan menjadi kunci sukses mereka. Ingin sekali mencoba, tapi tidak diperkenankan. Karena kalau sampai cairan itu mengeras, tak mudah lagi mencetaknya.
Gelas besar itu diraih jari lelah si ibu. Beberapa cairan kental itu diteteskan. “Ambil lah nak” Katanya. Aku ambil dan ku masukan ke dalam mulutku. Ini namanya “Ngencer”. Cairan kental itu dimasukan dalam gelas yang berisi air dengan maksud supaya cepat mendingin dan bisa dinikmati layaknya premen yang di jual bungkusan. Manis banget, premen alami produk local yang tak tertandingi. Hmmm… tak usah takut, karena cairan itu memisah sendiri ketika dimasukan di air. Beda banget dengan premen biasa yang bisa luntur dan habis dengan sendirinya.
Nggak nyape sepuluh menit mereka tuangkan di bulatan-bulatan itu. Setelah dirasa cukup mereka biarkan cairan mengeras dan akan mengangkatnya setelah mendingin.
Mesti kawan-kawan tau, cairan tadi itu air nira yang didapat dari bunga-bunga kelapa. Ya, ada tempat khusus, pisau bahkan teknik pengirisan yang hanya dimiliki oleh mereka-mereka para penderes. Siang mereka akan naik pohon kelapa untuk menggantikan tempat nira yang sudah terisi. Memanjat beberapa pohon kelapa dan mengumpulkannya, kemudian dibawa ke rumah, dicampur menjadi satu yang sebelumnya disari terlebih dahulu. Ini dilakukan karena beberapa kelopak bunga juga serangga-serangga terperangkap dalam pongkor (Tempat nira yang terbuat dari ruas bamboo yang dipotong sedemikian rupa).  
Setelah semua terkumpul, kuali besar itu diangkat ke atas tungku. Api besar terus-menerus sangat dibutuhkan supaya nira cepat mengental. O’a sebelum mengental juga bisa dipakai untuk merebus ubi-ubian. Tapi tak boleh terlalu banyak, karena akan berpengaruh pada kualitas produk.
Oke, cairan kental kini sudah mulai mengeras. Beberapa telah diangkat dan dibungkus dengan daun pisang kering. Beberapa disatukan, sehingga menjadi bulatan yang utuh, mereka menghitungnya menjadi “satu linting”. Sedangkan setengah lingkaran itu namanya “satu kerek”.Istilah yang unik memang.
Mereka biasanya memberikan secara Cuma-Cuma sekedar mencicip. Barang selinting atau sekerek. Padahal kalau kita melihat prosesi dari awal, satu kuali besar hanya menghasilkan seperempat cairan kental yang siap disulap jadi produk yang bisa di barter atau di jual belikan.
Demikian panjang pengolahan gula merah ini. Pertanyaannya, mereka nggak ngeluh sih ? Bisa ya? Resep dari mana ? Hmmm… lebih jelasnya, silakan kunjungi Penderes yang ada di desa.

TaRa Oriza


Teman-teman memanggilku Tara, Tara Oriza. Demikian nama panjangku. Orang tua memberiku nama yang sedikit lebih keren dibanding Katiem, Tunem, Darkem, Satiem, Kadem or sometthing like that. Oriza, Oriza sativa, nama latin biji-bijian. Ya, padi. Mereka terinspirasi oleh tulisan yang melekat pada kantong pembungkus bibit unggul subsidi pemerintah. Singkat cerita, kala itu penduduk desaku mulai menanam padi ( Oriza Sativa ). Yang kala itu Oriza Sativa dirasa unik dan sangat asing bagi telinga orang awam. Tara bermakna bobot pembungkus, diharapkan nantinya menjadi seorang yang memiliki ilmu pengetahuan luas, berbobot dengan ilmunya dan dipertimbangkan dalam komunitas juga memiiki jiwa yang rendah hati seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Orang tuaku bertani, petani yang semakin kabur harapannya. Ketika bertanam padi yang mengenyangkan semua perut, baik perut glandangan sampai pejabat tinggi, presiden bahkan mafia dan penjahat perang pun menikmatinya. Tapi sayang, tengkulak hanya mampu membeli produk kami dengan harga yang tak sebanding dengan perjuangan menghidupi sebatang padi.
Petani dihadapkan pada harga pupuk yang melambung dengan efek kimia yang makin mengurangi kesuburan tanah. Pajak bumi, sebagai lahan bercocok tanam juga mahal, apalagi jika dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari yang mahal pula, belum urusan pendidikan. Entah sampai kapan ini berakhir. Jerat yang semakain menyengsarakan sepanjang hayat.
Kalaupun akhirnya mereka bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi , tak pernah inginkan mengambil di fakultas pertanian. Mereka tak ingin kedepan si anak mengalami hal sama pada diri petani. Anak pun tak inginkan profesi tani untuk disandang. Kalau sudah begini, gelar yang disandang Indonesia sebagai Negara Agraris akan cepat ditanggalkan. Para pewaris ilmu bercocok tanam akan berganti menjadi manusia berdasi, karyawan-karyawan kapitalis yang akan senantiasa memeras keringat balakurawanya hingga Berjaya.
Fakultas hukum banyak dipilih, meski orientasi kerja makin diragukan. Bagaimana tidak, banyak koruptor yang berkluyuran di gedung-gedung pemerntahan, gedung sekolah pun tak sedikit beda. Koloni-koloni berantai mereka tak tuntas diungkap. Koruptor kelas kakap berhukum ringan dengan fasilitas mewah di dalam jeruji besi. Sungguh aneh negeri ini.
Bukan hanya itu, gaji para penguasa negeri merangkak naik. Berbeda dengan gaji guru yang tidak sesuai dengan pengabdiannya. Kompetensi mereka pun seakan dipermainkan, ini terbukti dengan adanya insentif untuk “guru berprestasi”. 
Ah, aku hanya orang desa. Orang desa yang memiliki tekad penuh untuk belajar di kota. Kota yang demikian asing untukku, empat hingga lima jam perjalanan pun harus ditempuh untuk singgah disana. Mengayunkan langkah meniti kehidupan yang demikian keras. Tiada sanak keluarga disana, hidup ini terasa sendiri, bagai sebutir kerikil di padang pasir demikian luas. Berharap menemukan oase penawar dahaga dikala lelah.

wew... HotSpot.....

Pagi buta, bangun, tunaikan kewajiban terhadap Tuhan dan mulai beraktivitas seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya, Jum'at ada dua mata kuliah di jam pertama dan ke dua. Jam pertama Psikologi anak dan remaja dan ke dua ada BK (Bimbingan Konseling). Setelah merapikan diri, dan belum sempat sarapan karena kebetulan dapat antrian terpanjang, berangkat ke kampus dengan teman.

Meniti langkah berharap sampai lebih cepat di ruang kuliah. Karena jarak kos-kosan dan kampus lumayan jauh. Dua puluh menit sampai di daun pintu. Alangkah terkejutnya ketika di ruangan itu hanya ada kursi-kursi yang saling membisu. Hmmm... begini kalau nggak ada info up to date.

Aku putuskan nunggu di serambi sambil baca kumpulan cerpen "Lelaki yang Dibeli" karya cerpenis-cerpenis Indonesia yang tergabung dalam buku terbitan OBSESI Press Purwokerto.

Termang sendiri seperti orang hilang. Sesekali melirik gedung  yang biasa kami pakai. Tak satu batang hidung pun muncul. Huft, setengah jam hampir terlewat. Aku putuskan hendak ke Perpustakaan, setidaknya di sana ada ilmu baru pengganti kuliah jam itu.

Setelah memasuki ruang perpus, ambil kunci, menuju loker dan meletakan semua properti di dalamnya. Hanya buku dan Lepy yang aku tenteng dan aku bawa ke lantai dua. Masuk Hot Spot area hendak menengok Blog dan nge posting beberapa karya terbaru.

Setelah Lepy ku buka, mulai terkoneksi k jaringan. Tak lama setelah itu, muncul kolom registrasi yang berisi Pasword dan User. Seperti biasa, aku isikan Nama dan NIM ku. Tapi setelah di enter, kolom itu kembali ke posisi semula. Berkali-kali aku coba dan hasilnya NIHIL.

Terlintas di benak, "Hot Spot Gila". Gila dan mempermainkan. Ngebuat jengkel dan"Ngesuih". Alternatif pinjam User dan Pasword teman. Via SMS aku kirim ke beberapa dan satu yang ngrespon. Lebih ngegemesin lagi ketika user dan Pasword itu sama-sama nggak bisa masuk. Masyaallah... "Assobru.......Assobruu..."

Ada teman lama yang menghampiri, sempat bercakap dan lumayan cukup lama. Hape bergetar, beberapa sms masuk. "Hari ini kuliah kosong dan BK diganti jam ke dua hari sabtu." Inna lillah, kok baru nyampe ?

Setelah di croscek, ternyata hape lagi kurang sehat. Suka nge-pending message. Ya apa boleh buat, sudah terlanjur gini.

Beberapa saat kemudian, temanku pamit mau kuliah. Hmmm sendiri lagi. Mencoba isikan pasword dan user kembali. "Gila_Gila_bener_bener Gila". Tetep nggak mau conect. Apa lagi yang berkendala?

Setelah dibaca ulang dan di teliti, ternyata pasword dan usernya diisikan TERBALIK. Masyaallah, setelah sumpah serapah di dada juga amarah yang hampir saja tumpah, akhirnya ketemu juga penawarnya.
Alhamdulillah, terjawab sudah. Beberapa menit bisa terkoneksi sebelum akhirnya "Tidah ada sambungan" tertera di layar monitor.

*Jum'at, 27 Mei 2011

Sandal Bututku


Kamis, 13 Mei 2010. Hari ini aku bangun lebih awal dari hari libur biasa. Aku, Teguh dan Dhaffa akan mengikuti lomba di masjid Baitussalam Purwokerto. FASI, Festival Anak Sholeh Indonesia tingkat kabupaten Banyumas.
Setelah mandi,sarapan, pamit dan berangkat rame-rame, jalan kaki menuju lokasi perlombaan. Kebetulan rumah dan tempat lomba tidak begitu jauh, setengah jam nyampe. Kami berangkat setengah tujuh pagi, jam tujuh pasti nyampe.
Nah, betul kan, jam tujuh nyampe. Sesampainya di Baitussalam, Uff…lumayan capek juga. Tapi capek itu hilang setelah berjumpa dengan teman-teman yang lain. Mereka buanyak buanget, pesertanya membludak. Banyak juga yang lagi antre, mendsftar bagi yang belum, termasuk aku. Kami menuju tempat panitia pendaftaran lomba dengan pendamping kami, ustadzah Rara. Setelah administrasi oke, kami menuju pendopo untuk mengikuti pembukaan lomba. Cuaca makin panas menyengat, matahari seakan memanggang kami. Bisa dibayangkan, yang pasti neraka lebih panas dari ini, naudzubillah…
Upacara selesai pukul sepuluhan. Kami langsung menuju TK Aisiyah, majelis III golongan CCQ cabang TPQ. Yup, kami ikut lomba CCQ perwakilan dari Purwokerto Utara. Pesertanya itu dari TPQ tiap kecamatan yang ada di kabupaten Banyumas. Ada Sembilan belas kecamatan yang ikut, dan peserta tiap kelompok ada tiga anak. Hayo hitung, ada berapa anak yang ikut lomba CCQ?. 19 X 3 = 57. Ya…benar 57. Di depan sana ada dua dewan juri, tiga panitera dan dua panitia. Kami, peserta ada di tengah, duduk manis diatas karpet merah yang membentang, dibelakang kami ada deretan kursi untuk pendamping. Ada juga orang tua peserta, bahkan adek-adek kecil juga ada. Mereka semua menonton dan mengawasi kami.
Setelah peraturan dibacakan oleh panitera, babak pertama perlombaan dimulai. Babak awal penyisihan lomba, kami diberi 50 soal dengan satu lembar kertas untuk menyalin jawaban. Soalnya seputar materi yang diajarkan di TPQ. Seperti tajwid, nabi, malaikat, rukun shalat, wudhu, doa sehari-hari, rukun islam, rukun iman, pokoknya seputar islam.
Empat puluh lima menitan, kami menyelesaikan soal itu. Soal terdiri dari pilihan ganda dan esay. 45 pilgan dan 5 esay. Kelompok lain sudah ada yang mengumpulkan lembar jawab mereka. Kelompok kami sudah sih, tapi mau di cek ulang, takutnya ada jawaban yang telewatkan. Setelah yakin baru kami kumpulkan dan menemui ustadzah Rara yang menunggu kami didepan.
“Gimana, mudah bukan?”
“Mudah dong ust”, jawabku
“Mudah…soalnya, jawabannya lumayan sulit”, si Teguh menambahkan.
“Itu sih lumayan, daripada lumanyun”
“Ha…ha…ha…ha…”\
Tertawa serempak, Dhaffa ini, sukanya nyemplong seenak perut aja.
Setelah semua peserta selesai mengerjakan soal. Di dalam tinggal panitia dan panitera yang sibuk mengoreksi jawaban kami. Mereka terlihat serius dan sangat teliti. Nanti, kelompok siapa ya yang dapat kesempatan mengikuti babak selanjutnya. Final, penentuan kejuaraan. Jadi H2C, harap-harap cemas.Sambil nunggu pengumuman, kami main ayunan, prosotan, jungkat-jungkit yang ada di samping gedung perlombaan.
Tahu nggak sih, ketika lagi main jungkat-jungkit, sandal yang aku kenakan putus. Apa yang mereka bilang,
“Bertanda buruk tuh!!!”
Ah, aku nggak percaya. Sandal putus, apa hubungannya dengan jawaban kami. Kalau sandal yang dijual di dunia ini nggak ada rusaknya, siapa nanti yang akan beli poduk sandal berikutnya?. Kasihann  dong para pengrajin sandal. Rizki untuk si penjual sandal juga. Paling nggak nanti aku dapat ganti sandal yang baru. Ambil baiknya aja.
Setengah jam lebih, panitera dan dewan juri mengoreksi dan berembuk di dalam. Aku dan teman-teman yang lain suddah nggak sabar pengen tahu hasilnya. Jam 11.22 WIB, panitia mempersilakan kami semua masuk ruangan. Mereka akan menyampaikan hasil lomba. Aku deg-degan. Kejuaraan dibacakan tiga nilai tertinggi yang akan maju ke babak berikutnya.
“Peringkat pertama, dengan nilai 91 diperoleh oleh TPQ Nurul Huda dari Purwokerto Timur. Peringkat kedua dan ketiga, dengan nilai sama 87 diraih TPQ AL Amin dari Kecamatan Kembaran dan TPQ Az Zahra dari Purwokerto Selatan”
Em…belum juara, Alhamdulillah. Tapi bukan karena tali sandalku yang putus. Paling nggak udah usaha menjadi yang terbaik, meski belum kecapai. Ada kesempatan untuk mengikuti lagi di tahun depan. Aku jadi lebih bersemangat lagi belajar di TPQ. Ternyata teman-teman santri banyak di Banyumas ini. Aku juga akan ajak teman-teman yang belum gabung di TPQ. Mudah-mudahan, lomba yang akan datang, kami lah pemenangnya. Amienn.