Bayang semu Azahra


Bimbang dikala harus diharapkan pada dua pilihan yang memberatkan. Antara benar cinta dan persahabatan. Kalau saja dia membaca tulisan ini. Mungkin aku sudah tidak lagi di Bumi Jawa. Aku ingin menikmati atmosfir beda yang pada akhirnya nanti akan menjadikan semua baik-baik saja. Sejenak tenangkan pikiran, menghilang dari peredaran.
Gundah, cemas, tak ingin ini yang terjadi. Mimpi terasa melambung di awan, terlempar dengan dorongan angin yang tiada ampun. Petir-petir itu tak jinak, sesekali menyambar, perih, sakit, sungguh, tapi tak jua bisa aku hindari. Pada siapa aku mengadu? pada siapa aku mohon pertolongan? Masih patut kah Tuhan mengasihani aku yang penuh dosa ini?
Semua berawal dari kisah rumit yang aku sendiri masih kesulitan memaknainya. Hidup dalam rantai kekaguman berlebih, bahkan mengkultuskan seorang perempuan yang tidak lain adalah teman seperjuangan di kampus. Ini terjadi pada aku, sahabatku, juga bidadari duniaku.
Jika aku ceritakan sekilas tentang bidadariku, khawatir engkau pun akan suka padanya. Satu yang ingin aku katakan kalau bidadari duniaku ini orang yang anggun, lembut dengan wajah yang menyejukan.
Karena dia aku harus jauh dengan sahabat-sahabatku yang lain. Bahkan sembunyikan kisah kami berdua tanpa menyisakan kecurigaan sedikit pun. Satu bulan berselang, semua berjalan baik-baik saja. Menginjak bulan kedua, layar kami goyang diterpa badai. Komunikasi menjadi kacau, muncul anggapan negative yang terkadang menjadikan emosi negative pula. Ingin aku katakan kalau sebenarnya ada rasa tidak suka yang menggunung jika dia harus dikagumi orang lain. Apalagi orang lain itu sahabatku sendiri. Perih jika harus kehilangan keduanya. Kehilangan salah satunya pun tak rela. Satu keputusan yang aku anggap bisa selamatkan hubungan kami, break untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Berat dan sangat menyiksa. Dilain sisi aku harus perjuangkan amanah yang aku emban sebagai pengurus kegiatan, orang yang aku puja dikagumi sahabatku sendiri. Tak rela jika orang lain singgah dihatinya. Tuhan, tak bolehkah diri ini mendapatkannya ?
Hari masih terlampau pagi jika harus keluar dari balutan selimut tebalku. Dinginnya angin, tak terbiasa aku rasakan setelah empat tahun hidup di pesisir. Ya, pesisir dengan udara panasnya. Tulang-tulang ini seakan memendek, lemak menipis, lapisan kulit membiarkan pori ini terbuka dengan lebarnya. Gemrecik air masih terdengar, sesekali pintu berderit tanda penghuni ruangan beranjak dari tidurnya. Jarum jam yang berdetak menunjukan pukul dua dini hari. Jangkrik-jangkrik mengerik bersahutan, mereka pun melakukan ritual tersendiri pada Sang Pencipta. Terlalu rendahkah jika aku yang diciptakan lebih tinggi derajatnya dari mahluk hidup semacam jangkrik ini, begitu cuek dengan seruan agama untuk mendekatkan diri padaNya.
A’udzubillah min syaitan, tetap merasa berat. Kelopak mata ini merekat erat, enggan terbuka. Tempat tidur seakan tak ijinkan aku untuk meninggalkannya. Sedikit selimut tersingkap, dingin luar biasa menyerang. Kuatkan diri ini ya Robb. Bismillah, tekad kuat ku tonjok engkau rasa malasku. Aku alihkan semua hal yang menyelimuti diri. Aku lipat selimut tebal itu, aku rapikan tempat pembaringanku. Melangkah pasti menuju daun pintu. Seribu langkah menuju gemrecik air di belakang rumah sana.
Di ruang tengah yang disulap sedemikian rupa menjadi tempat peribadatan, aku jumpai Ibunda tercinta juga ayah yang mulai membaca ayat-ayat suci itu. Bertalu, merdu nan menyejukan kalbu. Subhanallah, nikmat Tuhan mana yang hendak didustakan. Aku menuju tempat padasan[1]. Jemariku bersentuhan langsung dengan jernih air, dingin dan nampak lebih menyegarkan ketika aku basuhkan ke muka, juga bagian-bagian wudhu yang lain. Setelah dirasa cukup, memberanikan diri kenakan pakaian terbagus dengan sarung pemberian sahabat kecilku Va. Baju koko putih dan tak lupa kitab agamaku. Langkahku makin bersemangat untuk turut serta bergabung dengan ayah bunda. Tenggelam nikmati ketenagan yang telah lama sirna. Lama, sangat lama. Setelah lulus SMA aku tinggalkan ritual itu. Bukan meninggalkan, tapi lebih tepatnya kurang membiasakan.
Pendidikan yang dijalani setelah Aliyah, teman-temanku, bahkan apa yang aku temukan di duniaku yang baru seakan menjadikanku lebih bebas. Liberal, mereka menyebutnya.         Entah mengapa aku langsung nyaman saja dengan posisiku juga sebutan yang menempel dari mereka-mereka, “kaum intelektual”, “kaum terpelajar” atau lebih dikenal dengan istilah Mahasiwa. Maha nya siswa. Sedikit bangga meski kalau dibandingkan dengan kawan-kawanku disana sangat jauh. Mereka yang mampu menghasilkan keping-keping rupiah untuk menyokon pun peg kehidupan keluarga. Aku sendiri masih bergantung pada income keluarga. Meski begitu, aku masih merasa lebih dari mereka.
...
Hari beranjak siang, jarum jam menunjukan pukul setengah lima. Semburat orange melukis mega di ufuk timur sana. Dingin itu terkalahkan dengan hangatnya menjalin cinta denganNya. Salat fajar sebagai salat istimewa yang Tuhan sendiri menjanjikan pahala melebihi seisi langit dan bumi. Maha benar Allah dengan segala firmanNya.
Kumandang adzan bertalu-talu, rumahku sendiri tak jauh dari sumber suara itu. Aku bersama ayah bergegas menuju ke sana. Subhanallah, orang-orang tua berduyun-duyun menuju ke tempat yang sama. Alhamdulillah ya Robb, meski tak satu pun pemuda tiga puluh tahun nan terlihat disana. Ironis, meski kemarin-kemarin pun aku masuk dalam kebiasaan mereka, bersembunyi di balik selimut. Penyadaran pelan-pelan, tergelitik keinginan untuk kembali meramaikan kampungku.
...
Mentari memunculkan bentuk bulat merah menyala. Ia mulai hangatkan seisi bumi. Bergelantung di ujung bukit, bijak dan angkuh tampangnya. Cuap-cuap ketilang di ranting pohon rambutan, kaki jenjangnya beralih keatas, ke bawah ranting. Lincah seperti penari salsa. Mereka turut sambut hari, seakan ucapkan selamat pagi pada semua penghuni kampung. Seriang itu mereka, aku pun tak ingin kalah dengannya. Hari ini aku harus ke kantor pos, mengambil kiriman paket dari Bandung. Satu jam perjalanan dengan motor bututku.
Selesai sarapan, bersiap menuju desa Karang Lo tempat gedung kantor pos berdiri kokoh. Ayah dan ibu sudah lebih dulu menuju ke lahan dakwah mereka, sawah. Tempat bergantung semua kehidupan kami. Demikian akrab mereka berpacu dengan waktu, bergumul dengan tanah, cangkul, ilalang, sayur, ubi, juga kotoran hewan yang mereka sebut dengan kompos. Pupuk alami sahabat petani.
Mulai susuri jalan panjang berkelok. Hitam pekatnya menandakan bahwa semalaman hujan mengguyur. Jenjang coklat menghujam ke langit, daun-daun kecil menghijau di setiap ranting, bunga-bunga bermekaran. Ini awal musim penghujan. Alam tetap asri meski lapisan bumi yang lain botak dijarah manusia serakah negri ini. Ah, membahasnya tak cukup waktu seabad. Banyak rantai mafia yang bersembunyi dibelakangnya. Peduli apa mereka dengan keselamatan bumi mendatang. Mereka terobsesi menyulap lembaran daun menjadi kertas bernominal. Sudah lah, usah bahas mereka.
Roda-raoda itu berputar mengantarku. Sebelum ke kantor pos, aku sempatkan mampir di warung makan langgananku dulu kala SMA. Warung Soto istimewa yang bisa membuat lidah anda bergoyang. Soto ayam, kambing, sapi, dengan sajian berbeda. Ada yang dagingnya saja, jeroannya saja, atau pun campuran. Semua tergantung selaera. Harga masih bersahabat dengan pelajar. Satu porsi Rp 8.000,00, ekonomis bukan?.
Tempatnya luas, kursi-kursi tertata rapi dengan meja bundar di tengahnya. Ada televisi kecil di ujung lemari, gambar menu andalan terpampang di dinding yang kokoh terbuat dari anyaman bambu. Lebih detainya silahkan datang kesini, Soto Bancar Bu Rohmah. Tempat strategis di tepi jalan dekat terminal.
Di ujung meja sana ada seseorang yang mengalihkan pandanganku. Rasanya aku kenal, dan nggak asing. Seorang perempuan dengan balutan gamis dan jilbab merah hati. Dia bersama beberapa orang yang mungkin saja keluarganya. Masih dari jauh, aku pastikan dia adalah orang yang aku maksud. Aku mencari tempat duduk sekiranya bisa melihat jelas siapa dia. Hati ini bahagia luar biasa, ternyata benar. Dia Zahra penyejuk hatiku. Langkah seribu hendak menyapanya. Langkahku terhenti ketika serombongan orang menuju ke arahnya. Terpaksa aku kembali ke tempat dudukku dan menyaksikannya dari jauh. Yang membuat aku penasaran adalah sosok lelaki yang ada disana. Siapa dan apa yang mereka lakukan. Sakit, sangat sakit ketika aku tau ternyata mereka sudah terikat.
Tuhan, inikah wujud adilmu? Aku dan sahabatku tidak engkau berikan bidadari itu untuk kami miliki. Meski pahit dan tak rela jua, harus lepas. Kelenjar di mata ini enggan berproduksi keluarkan bulir-bulir bening itu. Tapi tetap saja perih terasa hati ini.


[1] Padasan : tempat untuk wudhu dalam bahasa Jawa

Celoth Mungil Syifa al Zahra


Aku manusia biasa, manusia yang tak pernah luput dari khilaf. Selama waktu bergulir, rentetan aktifitas untuk selalu berbaur dengan orang lain pun tak bisa dihindari. Apalagi sebagai subyek yang aktif dalam berbagai kegiatan. Aku Syifa al Zahra, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Purwokerto. Aku terlahir dari keluarga biasa-biasa saja yang menginginkan kehidupan luar biasa. Ya luar biasa, kehidupan yang berbeda dengan anak-anak seusiaku. Ketika mereka asik berlalu-lalang dari pusat belanja yang satu ke pusat belanja yang lain, aku harus mengumpulkan keping-keping rupiah dengan menjual berbungkus-bungkus nasi ibu kos ku, bahkan jadi tutor prifat anak-anak pun aku jalani. Aku kira itu perbedaan yang tipis dengan mereka. Itu bukan masalah bagiku karena aku percaya, kalau hitam putih kehidupan akan menjadikan indah dunia ini.
Satu yang menjadi masalah, ketika prinsipku goyah. Prinsip yang menjadikanku nyaman dengan semua aktifitasku seakan sirna tersapu waktu.  
Setelah libur panjang berlalu, aku harus kembali ke kos dan menjalani rutinitas perkuliahan. Seperti biasa, naik bus dengan penumpang yang berjubel. Maklum bus antar kota lewat lima jam sekali. Kebetulan ada kursi kosong sebelah ibu-ibu paruh baya. Kontan saja aku mendekat dan bermaksud untuk duduk di sampingnya. Dia menoleh dan senyum ramah itu terlukis di wajahnya. “Alhamdulillah”, batinku. Kami terlibat dalam perbincangan kecil yang menjadikanku kepikiran sampai saat ini.
“Mba, kuliah ?” tanyanya.
 “Iya bu”  jawaban singkat, bukan karena sombong atau kenapa.
“Kuliah bukan alasan untuk tidak menikah”.
Tiba-tiba aja dia bilang gitu, maksudnya apa, aku juga nggak tau.
“Mba, banyak lho dari mereka, kaum ibu-ibu yang menyuruhku untuk mencarikan pasangan untuk anaknya. Jadi nggak ada salahnya kalau sambil kuliah sembari mencari pasangan.”
“Maksud ibu ?”
. “Yea…begitu, anda lebih tau. Intinya jangan lalaikan masa depanmu. Masa dimana akan ada peran baru, kehidupan baru juga cerita baru. Waktu lah yang akan mendewasakanmu. Kau tak perlu meniru mereka, yang bergaul tanpa batas. Aku percaya kamu punya konsep sendiri tentang itu.”
Bus berhenti, dan dia berinjak dari duduknya sembari lemparkan kembali senyum itu. Dia seakan mendoktrinku dengan pemikirannya. Ah, bukankah mahasiswa itu harus kritis?
Sesampainya di kos, rebahan sambil menghelai nafas panjang, mengusir lelah. Teringat Amie, Arya, Anto, Ali, Aha, Dian, Ela, Uha juga Zhe, teman-teman yang menjadi bagian hidupku. Merekalah yang memaksaku berkenalan dengan istilah VMJ (Virus Merah Jambu). Sama sekali nggak tertarik dengan istilah itu. Sedikit pun nggak ada simpati untuk menanggapinya. Biarkan saja mereka berkata “cuek” sekali pun. Toh itu hak mereka.
Teringat yang diucapkan ibu paruh baya itu. Apa aku salah ? Bersikap tak adil, ketika mereka menyatakan keinginan untuk menjalin hubungan yang demikian. Apa aku terlalu egois dengan prinsip, “Tidak akan menjalin hubungan dengan mereka (kaum adam) sebelum cita-citaku tergapai.”
Perjalanan hidup seseorang memang sulit di prediksi. Seperti kak Imam, dengan usianya yang berkepala tiga mendapatkan mba Siti yang tak lain kakak dari teman adeknya. Iwan mantan presiden mahasiswa di kampus yang belum lama ini menikah dengan Andin, sekretarisnya. Mas Andi dengan mba Prima, yang dulunya selalu ribut seperti si Tom and Jerry. Miss Arin yang bergelar professor, menikah di usia yang ke-35 dengan sopir pribadinya. Bahkan sahabatku Mira, dijodohkan pun sekarang punya anak.
“Fa…Siyfa….!!!”
Ka Roh membuyarkan lamunanku.
“Lagi ngapain ukh ? Eh, tadi ada yang nanyain kamu lho..”
“Siapa ?”
“Siapa lagi kalau bukan..Kabid  mu…”
Yea, di kegiatan ekstra kampus kebetulan aku jadi Sek.bidnya.
“Nanya apa ? Paling rapat lagi “
“Rapat … rapat intern…Cuma berdua ya ? ehm…ehm….”
“Apaan sih…”
Sambil lempar bantal yang sedari tadi nyaman mengganjal kepala ke arahnya.
“Biasa aja kali…”
“Oh ya Fa, ada nggak sih konsep pacaran dalam islam ?”
“Tertarik apa ?”
“Ada nggak ?!”
Bener tuh...PACARAN yuh !!!”
“Serius loe...”
“PACARAN,,, itu....
P : Pelajari
A : Al Qur’an
C : Cinta
A : Allah
R : Rasulullah
A : Amar ma’ruf
N : Nahi munkar
Ehm…gitu say, dalam islam itu adanya nikah. So, kalau udah yakin mending nikah za. Mana ada konsep gituan. Intinya nggak ada pacaran islami, adanya pacaran syetani kaliee…”
“Gila loe...”
Nggak bisa dipungkiri jika memang ada rasa untuk memiliki sesuatu, tak terkecuali menyangkut masalah rasa. Perasaan yang kadang menjerumuskan. Intensitas pertemuan juga aktifitas yang sering melibatkan kita dalam kegiatan organisasi  kadang memaksa kita berikhtilath (bercampur antara laki-laki dan perempuan) pun sulit dihindari.
Banyaknya teman, baik dari SD sampai perguruan tinggi, baik di organisasi, rekan niaga, bisnis, sampai di dunia maya, punya kesempatan yang sama dalam hal itu. Yang pasti tetap waspada. Bagi akhwat, kaum hawa, harus tahu. Jika mereka buaya, kita adalah pawangnya. Aku juga punya prinsip baru sekarang, Syifa… artinya obat. Aku bukan syifa-syifa yang biasa, aku adalah obat, penawar yang beda. Aku penawar jiwa yang beriman, bertaqwa dan setia pada Tuhan nya.

Cumbuan Alam di Tepi Sendang


Gemercik air dengan kicauan burung di pucuk ranting. Lambaian rumput juga kuncup-kuncup bunga yang bermekaran dihinggapi kupu bercorak menawan. Pohon yang menjulang kekar lengkap bersama dedaunan yang rimbun. Angin spoi, awan yang putih, semuanya menyatu dibawah senyum mentari. Senandung alam melenakan sejenak problematika kehidupan.
Menghirup nafas panjang, duduk bersila di atas batu hitam tepi sungai. Kumpulkan oksigen, mengisinya pada kantong alveolus gelembung kembar paru-paru. Udara kecil menerobos keluar berlahan melalui rongga mulut. Terdengar bunyi “Pessssss” beberapa saat yang kemudian berlahan menghilang.  
Kelopak mata terbuka, terpaku menerawang bentang alam Maha dahsyat karunia Tuhan. Sedang disana, hembusan lembut angin mematahkan tangkai mungil daun Nangka. Terjatuh, berayun, berkelok sebelum sampai di tanah. Dia yang berawal dari biji kemudian tumbuh, berkembang, berdaun, berbunga dan berbuah. Mirip jika dijajarkan dengan fase kehidupan manusia. Manusia yang berwal dari bertemunya sperma dan ovum, kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging, kemudian tumbuh menjadi embrio (bayi) yang di tiupkan ruh padanya dan lahir ke dunia. Pertumbuhan berawal dari bayi, balita, remaja, dewasa, tua dan kembali ke tanah. Atau bahkan ada yang tidak melewati fase itu. Dari bayi langsung kembali atau hanya mencapai tingkat anak, remaja bahkan dewasa. Terlepas dari itu semua ada tantangan tersendiri dalam tiap fase kehidupan manusia. Seperti fase dewasa yang aku hadapi sekarang ini.
Potret manusia seperti apa yang kau inginkan ? Berapa usiamu? Apa yang sudah kamu lakukan? Apa yang kau pikirkan untuk hari esokmu?“ Sederet pertanyaan yang selalu berdengung di telingaku. Aku Zahra, tante dari anak teman-temanku. Ya, sebagian besar teman-temanku sudah berputra. Sedang aku masih bergulat dengan kertas, pena, buku –buku tebal, dan lepiku. Berkali mereka menanyakan, “Kapan?” Aku jawab ringan dengan “Insyaallah secepatnya”. Ternyata tak cukup jawaban itu mengunci semua pertanyaan mereka yang bakal terlontar untuk yang kesekian kalinya.
“Nggak laku”, “Perawan tua”. Ah, biarlah mereka berkata apa. Aku merasa nyaman dengan kesendirian ini. Menikmati duniaku, melukisnya dengan karya-karya terbaik. Langka dan pasti hanya ada satu manusia sepertiku di dunia ini. Kebanggaan yang kadang timbul tenggelam. Fitrah manusia tidak aku pungkiri seutuhnya. Menikah dan punya anak pun menjadi impian setiap wanita.
Pribadi yang seperti apa? Yang baik hatinya, jujur perkataannya, dalam keilmuannya, tebal keimanannya, setia dan penuh kasih sayang. Siapa? Hamba Tuhan yang belum jua menyapa. Terlalu prefectsionis kah diri ini. Apakah orang yang menyandang criteria itu belum tercipta atau dari sekian banyak mereka tak ada yang penuhi salah satu criteria?
Usiaku cukup matang mengarungi bahtera. Aku pun siap dengan semua tantangannya. Ada satu yang masih terkatung-katung. Sebenarnya dia ada dimana? Bagian tulang sulbiku.
“Turunkan criteria yang kau ajukan, terimalah siapa pun yang datang. Tutuplah kekurangannya dengan kelebihan yang engkau miliki.” Bujuk mereka tak goyahkan tekadku. Meski sebenarnya aku sendiri merasa pincang berkepanjangan. Seorang yang cantik, cerdas, kaya akan ilmu pun membutuhkan pasangan dari kaum adam. Tak bisa dipungkiri, hidup terasa tidak sempurna jika sendiri. Siapa yang akan meneruskan perjuanganmu kelak jika titisan penerusmu berhenti hanya karena gengsi, trauma atau phobia dengan kaum adam ?
Peduli apa dengan hidupku. Beberapa mereka yang datang, hanya mempermainkan perasaanku. Menjadikan aku pihak yang tidak diinginkan. Menjadi orang ketiga sebagai simpanan, pelampiasan dan cadangan. Lontaran bulsit tak lagi mempan, apalagi obralan mereka tentang janji dan kesetiaan. Skeptis kah diri ini ?
Apa mereka tidak berani dengan gelar yang mengekor di belakang namaku ? Dengan silsilah keluargaku? Aku percaya Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk aku jalani. Bukankah Dia telah berjanji akan memberikan “orang baik untuk orang baik”, demikian sebaliknya. Melengkapi satu dengan yang lain, mendekati sempurna, meski bukan ideal.
Kenapa harus bingung tak punya penerus perjuangan, sedang aku punya banyak anak di yayasan. Meski mereka tidak terlahir dari rahimku sendiri. Mereka yang aku beri penuh perhatian, fasilitas belajar yang nyaman, aku carikan guru terbaik, bahkan asrama berdiri kokoh menampung mereka. Sedang perlindungan dan riski, aku serahkan seutuhnya pada pemilik kehidupan.
Warisan tidak sekedar warisan untuk mereka. Goresan tinta pada lembaran-lembaran kertas itu warisanku. Untuk anak-anakku juga anak dunia. Aku ikatkan semua ilmu yang aku dapat, pelajaran kehidupan, pengalaman juga impian terpampang disana. Cukuplah aku dengan hidupku hanya dengan hidupku. Biarlah aku dan Tuhan yang tau.
Jika boleh, suatu hari nanti aku inginkan rumah mungil di tepi sendang ini. Bercinta dengan alam setiap hari. Nikmati lirik merdu nyanyian air juga penghuni ekosistem. Rekah bunga-bunga cukuplah menjadi sahabatku. Kupu dan serangga menjadi tetanggaku. Tak akan aku biarkan sosok manusia mengusik.

**Devita rahmawati, dara asli Purbalingga lahir 8 Desember 1990. Anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Drs. Sobirin dan Siti Khotijah ini sekarang menempuh studi di STAIN Purwokerto, Jurusan Tarbiyah, Prodi PBA (Pendidikan Bahasa Arab) semester 4. Selain kuliah dia aktif di LPM OBSESI, EASA (English Arabic Students Asosiation), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Dia berdomisili di Dukuh Karangnangka (bukit permai negri di atas awan), Desa Gunungwuled RT 02 RW 04, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, kode Pos 53356. E-mail : rahmawat.devita@rocketmail.com. Phone : 081902948550. Fb: Devita rahmawati. Blog :penavita.blogspot.com
Belajar menulis dari menceritakan kegiatan keseharian kemudian bisa membuat cerpen, esai, puisi dan artikel (bisa dijumpai di buletin KISMIS (Komunitas IMM STAIN Menuju Intelektual Dinamis) dan tabloid Poin terbitan Stain Press). “Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya” menjadikan motifasi tersendiri untuk terus berkarya.