CIPRAT

Pagi masih berselimut kabut. Lereng Slamet terguyur hujan semalaman. Rupanya masih ingin menambah lagi. Selokan hampir tumpah kelihatannya. Sampah-sampah berjubel iringi arus air. Sampah plastik dan dedaun  nampaknya masih belum ada pengelolaan. Apakah ini karena kurangnya sosialisasi tentang lingkungan yang sehat dari Dinas Kesehatan atau warga yang cuek dengan lingkungan. Hal sepele tapi tak sedikit membawa bencana, banjir misal.

Siang aku harus berjumpa dengan dosen pembimbing skripsiku. Yang pasti sebendel kertas ini harus beliau ACC supaya besok aku bisa mendaftar wisuda. Semua berkas sudah siap. Satu langkah lagi. Menggandakan skripsi, minta tanda tangan dan distribusi, wakaf jerih payahku ini. Ya, seratus halaman inilah yang mengantarkanku untuk meraih gelar sarjana. Mudah-mudahan tantangan selama mengerjakannya menjadikan ibrah tersendiri untukku.Umi, Abi, aku akan segera diwisuda. Bismillah, terimakasih do’a-do’a dalam sujud panjangmu, mudah-mudahan barokah ilmuku.

Sekarang tinggal pengabdian kepada orangtuaku juga orang disekelilingku. Hadiah terindah untuknya yakni memberangkatkan mereka ke tanah suci, berhaji. Ya, itu impianku. Mudah-mudahan esok limpahan rizki-Nya penuhi inginku.

Jangka pendek setelah wisuda mempersembahkan menantu shaleh untuknya. Tapi apakah aku yang harus mempersembahkan. Atau mereka yang memilihkannya untukku? Bukankah tugas mereka setelah anak sudah cukup usia, hanya berkewajiban menikahkan? Jika memang kondisinya memungkinkan, menghadiahkan untuk mereka, kenapa enggak. Tapi jika memang mereka telah mempersiapkan, tak ada alasan untuk menampik gagasan.

Aku nggak berani dengan pilihanku. Biarlah masa lalu itu cukup untuk aku yang dahulu. Masa sulit yang sangat jahil. Kala terlampau asik lalui dunia dengan dia yang kini telah jauh lantaran menikah dengan gadis pilihannya. Sakit memang. Harus berpisah dengan orang yang dicinta. Orang yang setelah sekian waktu mengisi canda juga tawa akhirnya menjadikan tangis yang belum jua reda. Sungguh, sayatan-sayatan itu masih terasa. Apa lagi saat ia sampaikan hajatnya untuk beralih pada hati yang lain. Tapi aku berusaha untuk menerima meski ridha masih jauh terasa.

Pada akhirnya undangan itu datang, undangan pernikahan mereka. Sakit, sakit sekali rasanya. Air mata tak terhitung berapa yang telah jatuh. Rintihan lara itu Allah jua yang tahu. Hanya Dia dan aku saja yang tahu, semoga. Cukup, dan itu saja yang aku rasakan. Meski waktu-waktu lain masih sempat komunikasi dan tak sengaja berjumpa, itu tak dikehendaki. Tak kuat rasanya menatap. Memilih untuk pergi menjadi hal yang dirasa bijak.

Titik air mata tak mampu hapuskan duka. Terlalu lelah untuk mencinta, mengenang dan mengutuk diri. Aku hanya bisa bertobat dengan apa-apa yang seharusnya tidak terjadi. Mencoba memperbaiki diri dengan membunuh kenangan yang menjadikan pahit jalani hidup.

Putus asa yang kadang meyambangi, tak cukup sekian waktu menguburnya. Demikian dalamkah atau hanya perasaan yang melebaykan? Entah lah, yang pasti itu masih membayang jelas di pelupuk mata. Janjinya yang dulu telah pias tersapu.

Berat memang hadapi kenyataan yang seperti ini. Aku pun masih yakin jika suatu ketika aku bisa bangkit kembali, meski melawan arus yang kadang deras menimpa. Atau bahkan ikuti arus semau ia bermuara. Berharap esok akan ada penyejuk hati yang teduh kala memandangnya, dan aku bisa menjadi pasangan yang sholehah nan setia.

---“-*...*-“---

Pukul 09.00 WIB jarum jam tanganku. Naiki lantai tiga gedung pusat, menuju salah satu ruangan dosen umtuk serahkan satu bendel skripsi karyaku. Ruangannya lengang, hanya satu karyawan yang sibuk dengan berkas dan pena di jemari tangannya.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumussalam warohmatulloh wabarokatuh”

“Mau serahkan ini bu”

“Ya, taro aja di meja, ntar aku sampaikan”

“Syukron”

“Ya”

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumussalam”

Hmm, semua sibuk. Ya, aku tahu itu. Terima kasih silahkan lanjutkan pekerjaanmu. Hehehe... paling nggak, tak perlu bertele-tele jika harus bertemu dengan dosen yang satu ini. Karena biasanya harus ada tema lain yang harus dibahas sebelum utarakan maksud dan tujuan. Paling kurang asik kalau tema agenda setelah wisuda. Hmm, akan membahas jauh tentang pernikahan dan tetek mbengeknya yang membuatku tertohok. Hehehehe, tak apa sih. Tapi jadi kaku aja.
Satu langkah dari pintu, hape bunyi. Ada satu pesan masuk dari nomor baru.

“Assalamu’alaikum, ukhti Dera. Hari ini teman-teman mau taziah. Anti ikut?”

Sepontan aku jawab,

“Taziah? Ke mana?”

“Ke Banjarsari”

“Tempat siapa”

“Daerah ukhti Arel”

“Inna lillah, siapa yang meninggal?”

“Ingat saat kita kondangan bulan September tahun kemaren disana? ‘Afwan ukh baru kasih kabar”

“Syukron”

Hilang rasanya penopang tubuh ini. Astaghfirullohaladzim. Innalillahi wa inna ilaihi ro’jiun. Benarkah? Dia kah? Ya Robbi, kenapa secepat itu? Bukan, bukan dia. Astaghfiruloh.

---“-*...*-“---

Bendera kuning melabai-lambai di tepi jalan. Kendaraan antri berprkir. Seragam hitam putih memenuhi rumah dan halaman. Aku dan beberapa teman yang lain mulai membaur dengan tamu yang lain. Isak tangis sesekali terseguk. Ruang tamu sangat ramai. Raga yang terbujur kaku itu istrinya. Innalillah. Demikian rencanaNya.

Di pojokan sana, terlihat suaminya sendu dikuatkan sahabat-sahabatnya. Di ruang tengah, ibu, bapak mereka berkumpul bersama keluarga yang lain. Beberapa saudara mulai persiapkan apa-apa yang hendak dibawa kala pemakaman.

Jantung ini  berdentum keras kala tahu bahwa ia berpulang dengan menghadiahkan putri buah cinta mereka. Masya Alloh. Dimana dia? Dengan siapa nantinya? Robby, haruskah demikian cerita hidup ini?

Sesekali menatapnya, muka sendu masih tergambar jelas. Koko putihnya tak memberikan ketegaran, sama sekali.

----"-*...*-"----

Menyemut. Hitam-putih menuju pemakaman. Jalan setapak itu penuh dengan jejak kaki mereka. Aku ada dalam kerumunan itu. Langkahkan kaki menuju sejejer nisan sebagai penghormatan terakhirku.

"Padahal dia sangat ramah dan dekat dengan kami"

"Dia guru ngaji anak-anak"

"Dia guru les anakku"

"Dia pendiri dan pengelolai pengajian ibu-ibu"

"Dia anak yang shaleh, insya alloh"

Begitu mereka mengenangnya. Mungkin ini beberapa serangkaian alasan kenapa suami memilihnya. Atau bahkan suaminya akan mengatakan hal serupa atau dia akan mengatakan, "Dia istri yang baik yang pernah aku punya." Entah lah, aku pun tak begitu dekat dengannya. Yang pasti,dia rival yang santun. Ya, sangat santun, anggun dan toleran. Ingat dulu kala kami dihadapkan pada keegoan dan kesemrawutan pikir. Menentukan dan menetapkan perkara yang tak ubahnya bola salju, makin lama persoalan makin menjadi.Ketika menentukan siapa-siapa yang hendak mengikhlaskan untuk dipersunting suaminya dahulu. Ya, dia yang sekian tahun mengenal dan bersabar meghadapi Mas Afi, hampir saja melepasnya untukku. Meski aku sadari betul, tak etis harus masuk dala kisah mereka. Alhamdulillah, semua baikbaik saja setelah istikharoh kami jalani dan berbagai pertimbangan yang matang. Jeda sekian waktu pun mereka menikah. Dan sekarang, aku masih belum bisa menerka mengapa dia berpulang.

Aku masih yakin sepenuhnya kalau ini adalah bagian dari sekenario Tuhan yang tidak ada sesosok makhluk pun tahu akan rahasianya. Bukankah usia, jodoh dan rizki itu ketetapannya? Seperti dalam ayatNya, 

"Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan RIZKI kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkanya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya" (QS. Al Isra: 30).  

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita yang-wanita yang keji (pula), wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik (pula)." (QS. An Nur: 26) 

"Dan tidak ada seseorang pun yang bisa menangguhkan kematian" Jadi ketika orang telah sampai pada batas perjanjian dengan Tuhan. Dia akan kembali dalam kondisi apapun dan dimanapun.

Begitu agamaku mengajarkan. Aku yakin sepenuhnya. Disamping sebagai umat yang taat, aku pun mampu merasakan kalau itu logis. Meski kala terpuruk akan menjadikan diri bertanya dan terus bertanya, "mengapa?" Ya itu kehendak-Nya. Itu yang terbaik menurut-Nya. Dan dalam salah satu ayat kitab suci agamaku pun menyatakan, "Bisa jadi apa-apa yang kamu suka itu tidak baik menurut Tuhanmu dan bisa jadi apa-apa yang menurutmu buruk itu justru yang terbaik menurut Tuhanmu."

Senantiasa berpikir positif, kalau apa-apa yang kita alami, kita jalani dan kita rasakan sekarang adalah yang terbaik untuk kita. Berucap syukur, "Alhamdulillah" sebagai apresiasi total dengan ketetapan Tuhan pun menjadi hal yang harus.

----"-*...*-"----

Gundukan merah itu masih basah oleh sekendi air. Warna-warni kelopak kembang diatasnya juga nisan itu sebagai bukti penghuni baru di pemakaman. Air satu kendi dan bunga-bunga itu masih menjadikan tanya, kenapa harus demikian? Apa tidak ada benda lain yang layak diletakan diatas gundukan tanah merah itu? Bukankah batu sebagai tanda bahwa itu makam saja sudah cukup. Seperti anjuran Nabi Muhammad SAW yang menghendaki pemakaman yang biasa saja yang diratakan sejajar dengan lapisan tanah yang lain, hanya saja ada tanda kalau disitu adalah pemakaman. Entah lah, tradisi masih kaku dan butuh sentuhan lembut supaya lurus. Entah lah, terlepas dari itu semua, isak tangis masih terdengar.

----"-*...*-"----

Sepulang dari pemakaman, pikiran itu masih bergelut. Kenapa jadi kepikiran mereka? Toh nggak ada kewajibanku melekat disana. Aku hanya merasa simpati saja mungkin. Atau kasihan dengan putri mereka. Atau cinta itu masih benar-benar ada. Masya Alloh. Aku hanya bisa terawang. Meliuk di perempatan masa. Ya, aku masih sakit. Sakit dengan keputusan lalu.]

0 komentar:

Posting Komentar