TaRa Oriza


Teman-teman memanggilku Tara, Tara Oriza. Demikian nama panjangku. Orang tua memberiku nama yang sedikit lebih keren dibanding Katiem, Tunem, Darkem, Satiem, Kadem or sometthing like that. Oriza, Oriza sativa, nama latin biji-bijian. Ya, padi. Mereka terinspirasi oleh tulisan yang melekat pada kantong pembungkus bibit unggul subsidi pemerintah. Singkat cerita, kala itu penduduk desaku mulai menanam padi ( Oriza Sativa ). Yang kala itu Oriza Sativa dirasa unik dan sangat asing bagi telinga orang awam. Tara bermakna bobot pembungkus, diharapkan nantinya menjadi seorang yang memiliki ilmu pengetahuan luas, berbobot dengan ilmunya dan dipertimbangkan dalam komunitas juga memiiki jiwa yang rendah hati seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Orang tuaku bertani, petani yang semakin kabur harapannya. Ketika bertanam padi yang mengenyangkan semua perut, baik perut glandangan sampai pejabat tinggi, presiden bahkan mafia dan penjahat perang pun menikmatinya. Tapi sayang, tengkulak hanya mampu membeli produk kami dengan harga yang tak sebanding dengan perjuangan menghidupi sebatang padi.
Petani dihadapkan pada harga pupuk yang melambung dengan efek kimia yang makin mengurangi kesuburan tanah. Pajak bumi, sebagai lahan bercocok tanam juga mahal, apalagi jika dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari yang mahal pula, belum urusan pendidikan. Entah sampai kapan ini berakhir. Jerat yang semakain menyengsarakan sepanjang hayat.
Kalaupun akhirnya mereka bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi , tak pernah inginkan mengambil di fakultas pertanian. Mereka tak ingin kedepan si anak mengalami hal sama pada diri petani. Anak pun tak inginkan profesi tani untuk disandang. Kalau sudah begini, gelar yang disandang Indonesia sebagai Negara Agraris akan cepat ditanggalkan. Para pewaris ilmu bercocok tanam akan berganti menjadi manusia berdasi, karyawan-karyawan kapitalis yang akan senantiasa memeras keringat balakurawanya hingga Berjaya.
Fakultas hukum banyak dipilih, meski orientasi kerja makin diragukan. Bagaimana tidak, banyak koruptor yang berkluyuran di gedung-gedung pemerntahan, gedung sekolah pun tak sedikit beda. Koloni-koloni berantai mereka tak tuntas diungkap. Koruptor kelas kakap berhukum ringan dengan fasilitas mewah di dalam jeruji besi. Sungguh aneh negeri ini.
Bukan hanya itu, gaji para penguasa negeri merangkak naik. Berbeda dengan gaji guru yang tidak sesuai dengan pengabdiannya. Kompetensi mereka pun seakan dipermainkan, ini terbukti dengan adanya insentif untuk “guru berprestasi”. 
Ah, aku hanya orang desa. Orang desa yang memiliki tekad penuh untuk belajar di kota. Kota yang demikian asing untukku, empat hingga lima jam perjalanan pun harus ditempuh untuk singgah disana. Mengayunkan langkah meniti kehidupan yang demikian keras. Tiada sanak keluarga disana, hidup ini terasa sendiri, bagai sebutir kerikil di padang pasir demikian luas. Berharap menemukan oase penawar dahaga dikala lelah.

1 komentar:

Ideaku mengatakan...

Dari 10 anak yg kautanya, belum tentu ada di antaranya yg pengin jadi petani. Bahkan untuk mengakui orangtuanya berprofesi sebagai petani pun mungkin malu. Apa alasannya? Ga perlu jauh2, sektor pertanian bagi kebanyakan orang di desa kita tidak bisa menjadi satu-satunya sumber pendapatan untuk menafkahi keluarga. Selain karena lahan pertanian yg dimiliki sgt terbatas, petani lebih suka menjual produk pertaniannya dalam bentuk bahan mentah atau belum diolah. Harganya pun murah, pendapatan mereka kecil. Bahan mentah diangkut ke daerah lain jumlahnya berton-ton setiap hari pasar. Setelah diolah menjadi barang bernilai tambah dibawa lg ke desa kita dan dijual dengan harga mahal. Bayangkan jika petani kita mengolah sendiri produk pertaniannya agar memiliki nilai tambah. Harga jualnya mahal, dan petani sejahtera. Jika petani makmur, anak kecil tidak perlu ragu bercita-cita jadi petani, anak kecil tidak perlu malu mengakui orangtuanya berprofesi sebagai petani.

Jadi industri kecil yg mengolah produk pertanian di pedesaan harus terbangun. Ini juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi masyarkat sekitar. Tapi itu sulit terjadi jika pertani susah mendapatkan permodalan, sementara bunga bank di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia dan dunia. Di sini, pemerintah harus bisa menurunkan suku bunga bank. Satu hal yg penting, sekolah juga tidak hanya mengajarkan ke siswanya bagaimana membuat surat lamaran pekerjaan. Ajarkanlah anak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Negara yang bisa mencapai pertumbuhan ekonomi pesat, karena penduduknya banyak yang berwirausaha. Contohlah China, coba sebut negara mana yg belum dibanjiri produk China???

Posting Komentar