Prosesi Gula Merah


Matahari mulai naik dari peraduannya. Cahayanya menembus celah kecil jendela kayu tua itu. Burung-burung bernyanyi diatas ranting-ranting kering itu, sesekali melangkah naik turun sekan mencari sesuatu. Embun masih ada dipucuk dedaunan. Semalam hujan turun deras. Bukit nan jauh disana tampak begitu mempesona. Pemandangan hijau nan segar, meski bentuknya berbeda dari tahun yang lalu. Penebangan pohon yang tak terkendali menjadikannya botak tak penuh dengan rerimbunan daun.
Disebrang jalan terlihat ibu paruh baya menggendong bakul yang sarat. Dengan teko di tangan kirinya dan rantang di tangan kanannya. Beban yang berat bertumpu pada satu titik. Luar biasa. Di sebelah tak jauh darinya, seorang bocah mengekor. Mungkin cucu atau bahkan anaknya.
Jadi teringat si Mbok. Melihat mereka, mungkin dulu akulah yang jadi bocah itu. Melangkahkan kaki menuju sumber penghidupan. Singgah dari rumah ke rumah, menghampiri ibu-ibu yang sekedar melihat barang dagangan yang kami jajakan. Tak jarang setelah diacak-acak  kemudian menawar tapi tak jadi beli. Kalaupun ada, kredit. Maklum di desa. Pembayarannya pun terkadang barter dengan hasil pertanian mereka, palawija, sayur, gula merah juga kami terima.
Hingga pada suatu hari, di sebuah rumah yang tak pantas disebut rumah. Gubuk lebih tepatnya. Di sana seorang lelaki tua bersama istrinya sedang mengaduk cairan kental di kuali besar. “Dukk…duk…duk…” Pengoleh panjang itu beradu dengan lapisan wadah yang sesekali bergerak memutar. Ya, tenaga ekstra mesti dikeluarkan untuk mengolahnya. Cairan itu makin lama makin mengental. Coklat pekat dengan sedikit buih-buih kecil koyakan pengoleh. Kurang lebih satu jam pemandangan yang sama aku saksikan sembari mendengarkan obroan ala orang tua. Setelah itu barulah cairan kental itu di tuangkan ke cetakan-cetakan bulat setengah lingkaran yang melekat pada sebuah papan kayu khusus.
Dengan cepat mereka penuhkan lubang-lubang itu. Sesekali mengambil lebih banyak di kuali besar dan dengan benda semacam gayung dan sendok besar, turut membantu memposisikan. Telaten dan hati-hati seakan menjadi kunci sukses mereka. Ingin sekali mencoba, tapi tidak diperkenankan. Karena kalau sampai cairan itu mengeras, tak mudah lagi mencetaknya.
Gelas besar itu diraih jari lelah si ibu. Beberapa cairan kental itu diteteskan. “Ambil lah nak” Katanya. Aku ambil dan ku masukan ke dalam mulutku. Ini namanya “Ngencer”. Cairan kental itu dimasukan dalam gelas yang berisi air dengan maksud supaya cepat mendingin dan bisa dinikmati layaknya premen yang di jual bungkusan. Manis banget, premen alami produk local yang tak tertandingi. Hmmm… tak usah takut, karena cairan itu memisah sendiri ketika dimasukan di air. Beda banget dengan premen biasa yang bisa luntur dan habis dengan sendirinya.
Nggak nyape sepuluh menit mereka tuangkan di bulatan-bulatan itu. Setelah dirasa cukup mereka biarkan cairan mengeras dan akan mengangkatnya setelah mendingin.
Mesti kawan-kawan tau, cairan tadi itu air nira yang didapat dari bunga-bunga kelapa. Ya, ada tempat khusus, pisau bahkan teknik pengirisan yang hanya dimiliki oleh mereka-mereka para penderes. Siang mereka akan naik pohon kelapa untuk menggantikan tempat nira yang sudah terisi. Memanjat beberapa pohon kelapa dan mengumpulkannya, kemudian dibawa ke rumah, dicampur menjadi satu yang sebelumnya disari terlebih dahulu. Ini dilakukan karena beberapa kelopak bunga juga serangga-serangga terperangkap dalam pongkor (Tempat nira yang terbuat dari ruas bamboo yang dipotong sedemikian rupa).  
Setelah semua terkumpul, kuali besar itu diangkat ke atas tungku. Api besar terus-menerus sangat dibutuhkan supaya nira cepat mengental. O’a sebelum mengental juga bisa dipakai untuk merebus ubi-ubian. Tapi tak boleh terlalu banyak, karena akan berpengaruh pada kualitas produk.
Oke, cairan kental kini sudah mulai mengeras. Beberapa telah diangkat dan dibungkus dengan daun pisang kering. Beberapa disatukan, sehingga menjadi bulatan yang utuh, mereka menghitungnya menjadi “satu linting”. Sedangkan setengah lingkaran itu namanya “satu kerek”.Istilah yang unik memang.
Mereka biasanya memberikan secara Cuma-Cuma sekedar mencicip. Barang selinting atau sekerek. Padahal kalau kita melihat prosesi dari awal, satu kuali besar hanya menghasilkan seperempat cairan kental yang siap disulap jadi produk yang bisa di barter atau di jual belikan.
Demikian panjang pengolahan gula merah ini. Pertanyaannya, mereka nggak ngeluh sih ? Bisa ya? Resep dari mana ? Hmmm… lebih jelasnya, silakan kunjungi Penderes yang ada di desa.

0 komentar:

Posting Komentar