Sepatu untuk Jemariku


Laskar Pelangi, Buka seperti Ikal yang ingin pergi ke paris melihat Eiffel dan keliling Eropa. Keinginanku sederhaana saja, mempensiunkan kedua orang tuaku dari kerjanya dan membiayai sekolah kedua adiku  Aku ingin seperti Lintang. Pintar, pemberani dan pantang menyerah. Aku ingin sekolah yang tinggi supaya bisa memajukan desa terpencil ini. Ya, aku anak desa, pelosok, jauh banget dari kota. Paling nggak, kalau penduduknya pintar, kita tidak lagi mau dibodohi. Nggak dijajah, dijajah oleh penguasa yang konon orang sendiri sekali pun.
Ayahku seorang petani, Ibu penjual gorengan di SD. Penghasilan mereka cukup untuk makan saja. Kebutuhan yang lain menyusul. Bahkan jari kakiku yang keluar karena  makin memanjang tak aku pedulikan. Seragam merah putihku, ah nggak putih lagi tapi merah dan krem. Nggak penting, asal aku bisa sekolah, perut kenyang dan bisa bantu mereka.
Setiap pagi aku harus ke pasar, sedangkan  Ibu membereskan rumah juga mempersiapkan bumbu-bumbu gorengannya dan ayah ke sawah jam tiga dini hari. Sedikit bercerita tentang sawahku, disana surga bagi kami. Setiap kali kesana pasti ada kesan beda yang aku dapat. Suatu hari aku duduk dibawah pohon pisang di paling ujung sengkedan sawah. Sejenak memandang, mengagumi betapa hebat Maha karya sang penguasa alam ini. Terbentang tak berujung. Langit yang biru memberikan kesejukan tersendiri. Burung-burung kecil menari, mendapati buliran-buliran hijau padi kami. Di kejauhan sana nampak seorang bapak tani yang asik dengan cangkulnya. Si ibu nampak berjalan dengan menggendong sesuatu dan kedua tangannya membawa rantang dan ceret[1]. Teringat titah Ayahku,
“Nak, ingin jadi apa kau nanti ?”.
“Petani yah
“Petani ?!! Mbok ya pilih yang lain. Petani itu hidupnya sulit. Apa kau akan pertahankan hidup seperti ini? Nggak punya duit, kerjanya kepanasan. Liat tuhdi tivi , orang berdasi, duduk di kursi empuk, pegangannya pulpen, ruangannya AC, mobilnya mewah, rumahnya megah, kerjanya…”
“Apa kerjanya ?”
“Pastinya kerjanya lebih ringan, tanda tangan dan dapat uang”
“Wah enak banget. Siapa yang nggak mau coba. Tapi kalau aku jadi pejabat, siapa yang akan mewarisi ilmu bercocok tanamu yah ?”
“Iya ya, kalau semua orang jadi pejabat, bahkan para petani inginkan anaknya jadi pegawai, siapa yang akan olah tanah, mengolah sawah, menanam padi yang nantinya mengenyangkan perut-perut mereka”.
Bapak sendiri mulai ragu dengan angannya. Hidup mewah bukan jaminan bisa bahagia. Banyak duit pun nggak jadi jaminan. Seperti Gayus Tambunan yang kasusnya belum juga berahir. Hafal nggak lagu yang berjudul “Andai aku jadi Gayus Tambunan” ? Biar hidup di plosok, jangan salah, Tv tetangga akan tetap nyala dan kami biasa nonton bareng seperti layar tancap.
Suatu pagi,  aku keluar rumah dengan tenggok kecil di tangan kiriku. Tangan kanan membawa Brontok, ayam yang harus aku jual untuk membayar buku latihan ujian. Kasihan Brontok, mudah-mudahan nanti dia dapat majikan yang jauh lebih sayang padanya.
Pasar lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Dua jam harus menyusuri jalan yang tak pantas disebut jalan. Sungai kering lebih tepatnya. Beda dengan jalan-jalan di kota, hitam, rata dan lebih nyaman tanpa takut terantuk batu. Apa lagi kalau pakai sepeda, pasti nggak akan terburu-buru seperti ini. Masih harus memilah-milih celah tak berbatu pula.
Dua jam berlalu, aku menuju area pasar hewan. Si Brontok ditawar tiga puluh ribu rupiah. Gila si pembeli, brontok kan udah gede. Dimana-mana sama, tengkulak beli dengan harga rendah. Bukan kali ini saja, padi yang sudah menjadi beras juga jadi bidikan empuk mereka. Sampai kapan derita ini berakhir ? Jika dibandingkan dengan hasil penjualan si brontok tak seberapa dibanding buku ku yang harganya dua puluh lima ribu. Sisa lima ribu, bisa saja aku simpan di duplikat brontok. D ia si jalu, ayam-ayaman khusus penyimpan uang yang kami sebut “celengen”.
Setelah transaksi usai, aku menuju ke penjual sayur. Pesanan ibu, ditulis di kertas. Tadi pagi sudah dimasukan ke tenggok ini. Tapi sungguh malang, pagi ini tak ada secarik kertas pun. Tenggok kosong, mungkin jatuh di jalan. Hari ini aku berangkat tidak seperti biasa. Aku menyusuri sawah, memotong jalan. Bukan hanya itu, aku berjalan setengah berlari. Takut sampai di pasar kehabisan pesanan ibu. Dari dua hari kemarin, ibu tulis sayuran yang sama. Analoginya, hari ini nggak bakal jauh-jauh dari itu. Mudah-mudahan saja.
Hari makin siang. Aku harus dapatkan semuanya. Kalau nggak dapat, nggak akan ada jatah makan hari ini. Kasihan adikku nanti. Bagaimana jadi anak yang pintar, kalau belajar nggak konsen karena lapar. Aku masih sedikit ingat dengan pesan ibu hari kemarin. Setengah kilogram wortel, seperempat kilogram kecambah putih, satu kilogram kubis, dua bungkus tahu kering, satu setengah kilogram tepung terigu, setengah kilogram tepung beras, seperempat bawang merah, satu ons bawanng putih, lima bungkus ketumbar, satu bungkus mrica, seperempat kilogram kacang hijau, setengah kilogram gula jawa, satu bungkus garam, satu kilogram minyak goreng. Paling nggak semua aku beli dulu. Kalaupun tidak sesuai, bisa diolah menjadi menu yang lain.
Ada uang lima puluh ribu rupiah dari ibu untuk dapatkan semua. Semua kebutuhan mahal, sayur juga. Bahkan baru-baru ini harga cabe melambung. Lagi-lagi tengkulak bermain. Tau nggak, buah yang sekarang ini kebanyakan didatangkan dari luar negri. Beda dengan produk petani wa bil khusus beras yang sampai saat ini belum ada perhatian khusus. Padahal nasi yang mereka makan, petani yang tanam. Bayangkan saja, kalau semua petani yang ada, menanam padi hanya untuk makan keluarga sendiri. Para penguasa diatas sana siapa yang mau ngasih nasi? Bisa nggak makan mereka. Aku bangga jadi anak petani, petani yang mengenyangkan semua perut yang kelaparan.
Setelah aku bayarkan, dihitung-hitung semua lima puluh tiga ribu. Aku ambil tiga ribu. Tak apa lah, dua ribu untuk si Jalu. Melintasi pasar, menuju pintu keluar. Melihat tomat merah besar yang menggoddaku untuk menyapa dan membelinya. Paling nggak bisa aku tanam bijinya dan dinikmati daging buahnya. Aku dekati si penjual tomat itu. Seorang nenek sepuh. Ah, jadi ingat ibu.
“Nek, tomatnya satu berapaan?”
“Seribu nak”
Wah, mahal juga. Kalau beli dua berarti uang habis. Jalu nggak akan kebagian. Kalau nggak jadi beli, kasihan nenek ini, kalau ditawar, nggak tega. Akhirnya aku putuskan.
“Satu aja nek”
“Makasih nak, ini ditambah dua yang kecil untukmu”
“Terima kasih nek”
Senyum yang mewarnai guratan wajahnya itu tampak alami. Tahun 2011 ini masih ada orang sebaik nenek itu. Coba semua penduduk dunia, ah nggak usah jauh-jauh, penduduk Indonesia, atau semua penduduk desaku sebaik nenek itu. Pasti semua akan bahagia. Beli satu dapat tiga. Aku hanya bisa merasa, mengamati, belajar dari mereka. Menghadapi kerasnya hidup berebut sesuap nasi.
Matahari mulai naik, aku harus mempercepat langkahku. Hari ini aku nggak ingin terlambat.
Sampai di rumah pukul setengah tujuh pagi. Ada waktu seperempat jam untuk mandi, sarapan dan siap-siap berangkat sekolah. Sekolahku nggak jauh, lima belas menit nyampe. Adek ku yang satu, kelas tiga SD. Setelah sarapan dengan sepotong goreng pisang dan segelas air putih, kami pamit berangkat. Ibu masih sibuk dengan hasil belanjaku., Ibu nggak protes dengan apa yang aku beli. Syukurlah, berarti cocok dengan apa yang diinginkan. Aku belum sempat sampaikaan kejadian yang aku alami pagi ini. Maaf ibu, hari sudah siang.
“Bu, Khanif sama Eli berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam, ati-ati nak”
Sambil mencium tangannya, kami berlalu. Jalan kaki, ayunkan langkah menuju sumber pencerahan, ilmu. Ya ilmu yang akan menjadikan terang dunia ini. Bukan hanya listrik saja yang menjadikan terang. Hehehe
Alhamdulillah, nyampe di kelas guru belum hadir.
“Bel udah dibunyikan lima menit yang lalu pangeran telat!!!”
“Yup, makasih atas informasinya”
Dia Amin, teman sebelahku. Anak kepala desa yang kadang rese, sok gitu. Tapi biarlah, “biarkan anjing menggong-gong, kafilah berlalu”, Hehe…Tak usah diladenin, nanti juga diam sendiri. Tak lama kemudian, Bu Wanti muncul. Semua anak diam dan siap mengikuti pelajaran. Dia guru favorit kami, cantik, anggun dengan balutan muslimahnya juga pintar. Pokoknya dia menyenangkan. Tambah semangat deh.
“Selamat pagi anak-anak”
“Pagi bu…”
“Siapa yang tidak masuk hari ini?”
“Nihil bu…”
Nihil itu kita anggap nggak ada yang tidak berangkat hari ini. Dalam artian semua masuk.
“Alhamdulillah. Hari ini, kita akan menghitung, jarak, waktu dan kecepatan. Buka buku sains halaman 80”
Kami mulai membuka-buka isi buku, mencari halaman 80.   
Pak kepala sekolah masuk ruangan kami. Semua tambah tenang, duduk teratur.
“Anak-anak, mohon perhatiannya. Ada pengumuman penting untuk kalian. Sehubungan dengan adanya lomba Mapel besok di SD N 2 Sukajati, bapak akan menunjuk tiga anak dari kalian sebagai wakil SD kita. Adapun hadiahnya, juara satu uang sebanyak Rp 750.000,, juara dua Rp 500.000, dan juara tiga mendapat seragam, sepatu dan alat tulis. Mereka yang akan ikut lomba adalah Afi, Wulan dan Khanif. Siap?!”
“Siap!!!,”
Agak ragu juga jawabnya. Setiap kali ada kegiatan pasti mendadak. Maklum, daerah kami sulit dijangkau. Kalaupun ada surat dari Dinas Pendidikan, surat itu akan singgah dulu di kecamatan, di balai desa, di tempat pak RW, kemudian di rumah pak RT, baru sampe ke SD. Uff…nggak ada merpati surat lagi sih. Tukang pos juga nggak bisa menjangkau.
 “Insyaallah”
“Kalau begitu bapak tinggal dulu dan selamat melanjutkan pelajaran kembali.”
“Kok Khanif sih, Amin nggak ikut”
Bisik-bisik mereka ungkapkan ketidak puasan karena bos yang dielu-elukan nggak dijadikan duta sekolah. Itu menjadikan suasana berdengung seperti rumah lebah.
“Oke anak-anak. Selamat bagi yang terpilih, dan yang belum jangan berkecil hati. Masih ada banyak kesempatan untuk kalian. Oh ya, nanti kalian bertiga jangan pulang dulu. Ada sedikit pengarahan dan dipinjami buku pengayaan untuk dipelajari dirumah.”
Pelajaran dilanjutkan hingga bel istirahat berbunyi, setelah membereskan alat tulisku aku akan ke kantin. Bukan untuk jajan, tapi melihat ibu. Sudah di sana apa belum.
“If, selamat ya”
“Kamu?”
Amin menghampiriku. Kaget aja, nggak biasanya.
“Ya, aku bosen dengan persaingan kita yang nggak sportif. Aku dah capek dan ingin konsentrasi untuk ujian kita nanti”
“Oke, jadi mulai skarang kita berteman?!”
“Berteman!!!”
Ha…ha…ha..a…a…
Tawa merekah di kedua wajah itu. Musuh emang bikin nggak nyaman. Sahabat jauh lebih enak pastinya.
“Makan yuk!!!”
Mereka keluar menuju kantin. Untuk pertama kalinya Amin mencicipi menu gorengan ibuku.
“Emmm, ternyata enak juga. Pisangnya unik, gorengnya kayak Kentucky. Dapat resep darimana?”
“Ada deh”
“Boleh tuh, kapan-kapan kalau rumahku ada acara, pesan ke ibumu aja”
“Oke, order baru. Kamu order, aku anter”
“Kau memang terbaik sobat”

Hari yang sudah ditentukan pun muncul. Hanya ada satu keinginan aku harus dapat sepatu itu. Kasihan jari jemari yang nongol di sepatu lamaku. Pagi-pagi sekali aku menuju sekolah dan berkumpul dengan teman-temanku . Jarum jam menunjukan pukul 06.00, Pak Irvan belum datang, padahal dia adalah guru paling disiplin di sekolahku. Untung dia mengajar kelasku di jam siang. Bisa dibayangkan kalau pagi, aku kan biasa telat. Bisa-bisa nggak pernah ikut jadwal mata pelajarannya. Kami mencoba menunggunya dengan tenang. Setengah jam lebih kami menunggu. Semangat itu kini terbang tersapu angin. Padahal persiapan sudah matang. Dalam kegelisahan itu, muncul Pak Jumad, dia mengatakan pada kami kalau Pak Irvan berhalangan datang karena istrinya mau melahirkan. Mengapa dia baru kasih tau, padahal jarak tempat lomba lumayan jauh, pak Irvan lah satu-satunya guru yang punya motor. Harapan itu pupus dan layu sebelum berkembang. Ah, ambil sisi positfnya aja. Kali ini belum bisa, berharap tahun depan kami turut meramaikan lomba yang sama.
Kami pulang dengan tangan hampa. Juara satu tidak kami peroleh, sepatu pun nggak. Malang benar hari ini. Berjalan dengan ayunan malas, takut ditanya macam-macam sama orang tua. Sesampainya di depan rumah, ada yang beda. Terdengar celoteh riang anak kecil yang suaranya sangat akrab di telingaku. Berlahan aku menuju pintu rumah. Benar saja, ada Lista, Chalista. Dia sepupu kecilku yang lama tidak bertandang. Hemm, dia berlari memeluku, sayang banget. Kangen, lama kami tidak ketemu. Ada Bibi Trika dan Pamanku, Afian. Yang mengejutkan lagi, ternyata mereka bawa bingkisan untukku. Ayah, Ibu dan adek juga mendapat bagian masing-masing. Beribu tanya bergelayut dalam pikiranku. Setelah dibuka, ternyata sepatu baru didalamnya. Wah, memang rizki itu datang secara tiba-tiba. Terimakasih Tuhan.
Kawan, mungkin ini yang bisa saya ceritakan, untuk lebih serunya lagi silakan kawan-kawan main ke desa ku. Yang pasti di desaku lebih keren dari Edensor yang diceritakan oleh Andrea Hirata. Ditunggu kehadirannya lho. 


[1] Rantang itu tempat makanan, bekal dan ceret itu tempat air.

0 komentar:

Posting Komentar