Cumbuan Alam di Tepi Sendang


Gemercik air dengan kicauan burung di pucuk ranting. Lambaian rumput juga kuncup-kuncup bunga yang bermekaran dihinggapi kupu bercorak menawan. Pohon yang menjulang kekar lengkap bersama dedaunan yang rimbun. Angin spoi, awan yang putih, semuanya menyatu dibawah senyum mentari. Senandung alam melenakan sejenak problematika kehidupan.
Menghirup nafas panjang, duduk bersila di atas batu hitam tepi sungai. Kumpulkan oksigen, mengisinya pada kantong alveolus gelembung kembar paru-paru. Udara kecil menerobos keluar berlahan melalui rongga mulut. Terdengar bunyi “Pessssss” beberapa saat yang kemudian berlahan menghilang.  
Kelopak mata terbuka, terpaku menerawang bentang alam Maha dahsyat karunia Tuhan. Sedang disana, hembusan lembut angin mematahkan tangkai mungil daun Nangka. Terjatuh, berayun, berkelok sebelum sampai di tanah. Dia yang berawal dari biji kemudian tumbuh, berkembang, berdaun, berbunga dan berbuah. Mirip jika dijajarkan dengan fase kehidupan manusia. Manusia yang berwal dari bertemunya sperma dan ovum, kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging, kemudian tumbuh menjadi embrio (bayi) yang di tiupkan ruh padanya dan lahir ke dunia. Pertumbuhan berawal dari bayi, balita, remaja, dewasa, tua dan kembali ke tanah. Atau bahkan ada yang tidak melewati fase itu. Dari bayi langsung kembali atau hanya mencapai tingkat anak, remaja bahkan dewasa. Terlepas dari itu semua ada tantangan tersendiri dalam tiap fase kehidupan manusia. Seperti fase dewasa yang aku hadapi sekarang ini.
Potret manusia seperti apa yang kau inginkan ? Berapa usiamu? Apa yang sudah kamu lakukan? Apa yang kau pikirkan untuk hari esokmu?“ Sederet pertanyaan yang selalu berdengung di telingaku. Aku Zahra, tante dari anak teman-temanku. Ya, sebagian besar teman-temanku sudah berputra. Sedang aku masih bergulat dengan kertas, pena, buku –buku tebal, dan lepiku. Berkali mereka menanyakan, “Kapan?” Aku jawab ringan dengan “Insyaallah secepatnya”. Ternyata tak cukup jawaban itu mengunci semua pertanyaan mereka yang bakal terlontar untuk yang kesekian kalinya.
“Nggak laku”, “Perawan tua”. Ah, biarlah mereka berkata apa. Aku merasa nyaman dengan kesendirian ini. Menikmati duniaku, melukisnya dengan karya-karya terbaik. Langka dan pasti hanya ada satu manusia sepertiku di dunia ini. Kebanggaan yang kadang timbul tenggelam. Fitrah manusia tidak aku pungkiri seutuhnya. Menikah dan punya anak pun menjadi impian setiap wanita.
Pribadi yang seperti apa? Yang baik hatinya, jujur perkataannya, dalam keilmuannya, tebal keimanannya, setia dan penuh kasih sayang. Siapa? Hamba Tuhan yang belum jua menyapa. Terlalu prefectsionis kah diri ini. Apakah orang yang menyandang criteria itu belum tercipta atau dari sekian banyak mereka tak ada yang penuhi salah satu criteria?
Usiaku cukup matang mengarungi bahtera. Aku pun siap dengan semua tantangannya. Ada satu yang masih terkatung-katung. Sebenarnya dia ada dimana? Bagian tulang sulbiku.
“Turunkan criteria yang kau ajukan, terimalah siapa pun yang datang. Tutuplah kekurangannya dengan kelebihan yang engkau miliki.” Bujuk mereka tak goyahkan tekadku. Meski sebenarnya aku sendiri merasa pincang berkepanjangan. Seorang yang cantik, cerdas, kaya akan ilmu pun membutuhkan pasangan dari kaum adam. Tak bisa dipungkiri, hidup terasa tidak sempurna jika sendiri. Siapa yang akan meneruskan perjuanganmu kelak jika titisan penerusmu berhenti hanya karena gengsi, trauma atau phobia dengan kaum adam ?
Peduli apa dengan hidupku. Beberapa mereka yang datang, hanya mempermainkan perasaanku. Menjadikan aku pihak yang tidak diinginkan. Menjadi orang ketiga sebagai simpanan, pelampiasan dan cadangan. Lontaran bulsit tak lagi mempan, apalagi obralan mereka tentang janji dan kesetiaan. Skeptis kah diri ini ?
Apa mereka tidak berani dengan gelar yang mengekor di belakang namaku ? Dengan silsilah keluargaku? Aku percaya Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk aku jalani. Bukankah Dia telah berjanji akan memberikan “orang baik untuk orang baik”, demikian sebaliknya. Melengkapi satu dengan yang lain, mendekati sempurna, meski bukan ideal.
Kenapa harus bingung tak punya penerus perjuangan, sedang aku punya banyak anak di yayasan. Meski mereka tidak terlahir dari rahimku sendiri. Mereka yang aku beri penuh perhatian, fasilitas belajar yang nyaman, aku carikan guru terbaik, bahkan asrama berdiri kokoh menampung mereka. Sedang perlindungan dan riski, aku serahkan seutuhnya pada pemilik kehidupan.
Warisan tidak sekedar warisan untuk mereka. Goresan tinta pada lembaran-lembaran kertas itu warisanku. Untuk anak-anakku juga anak dunia. Aku ikatkan semua ilmu yang aku dapat, pelajaran kehidupan, pengalaman juga impian terpampang disana. Cukuplah aku dengan hidupku hanya dengan hidupku. Biarlah aku dan Tuhan yang tau.
Jika boleh, suatu hari nanti aku inginkan rumah mungil di tepi sendang ini. Bercinta dengan alam setiap hari. Nikmati lirik merdu nyanyian air juga penghuni ekosistem. Rekah bunga-bunga cukuplah menjadi sahabatku. Kupu dan serangga menjadi tetanggaku. Tak akan aku biarkan sosok manusia mengusik.

**Devita rahmawati, dara asli Purbalingga lahir 8 Desember 1990. Anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Drs. Sobirin dan Siti Khotijah ini sekarang menempuh studi di STAIN Purwokerto, Jurusan Tarbiyah, Prodi PBA (Pendidikan Bahasa Arab) semester 4. Selain kuliah dia aktif di LPM OBSESI, EASA (English Arabic Students Asosiation), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Dia berdomisili di Dukuh Karangnangka (bukit permai negri di atas awan), Desa Gunungwuled RT 02 RW 04, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, kode Pos 53356. E-mail : rahmawat.devita@rocketmail.com. Phone : 081902948550. Fb: Devita rahmawati. Blog :penavita.blogspot.com
Belajar menulis dari menceritakan kegiatan keseharian kemudian bisa membuat cerpen, esai, puisi dan artikel (bisa dijumpai di buletin KISMIS (Komunitas IMM STAIN Menuju Intelektual Dinamis) dan tabloid Poin terbitan Stain Press). “Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya” menjadikan motifasi tersendiri untuk terus berkarya.

0 komentar:

Posting Komentar