Celoth Mungil Syifa al Zahra


Aku manusia biasa, manusia yang tak pernah luput dari khilaf. Selama waktu bergulir, rentetan aktifitas untuk selalu berbaur dengan orang lain pun tak bisa dihindari. Apalagi sebagai subyek yang aktif dalam berbagai kegiatan. Aku Syifa al Zahra, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Purwokerto. Aku terlahir dari keluarga biasa-biasa saja yang menginginkan kehidupan luar biasa. Ya luar biasa, kehidupan yang berbeda dengan anak-anak seusiaku. Ketika mereka asik berlalu-lalang dari pusat belanja yang satu ke pusat belanja yang lain, aku harus mengumpulkan keping-keping rupiah dengan menjual berbungkus-bungkus nasi ibu kos ku, bahkan jadi tutor prifat anak-anak pun aku jalani. Aku kira itu perbedaan yang tipis dengan mereka. Itu bukan masalah bagiku karena aku percaya, kalau hitam putih kehidupan akan menjadikan indah dunia ini.
Satu yang menjadi masalah, ketika prinsipku goyah. Prinsip yang menjadikanku nyaman dengan semua aktifitasku seakan sirna tersapu waktu.  
Setelah libur panjang berlalu, aku harus kembali ke kos dan menjalani rutinitas perkuliahan. Seperti biasa, naik bus dengan penumpang yang berjubel. Maklum bus antar kota lewat lima jam sekali. Kebetulan ada kursi kosong sebelah ibu-ibu paruh baya. Kontan saja aku mendekat dan bermaksud untuk duduk di sampingnya. Dia menoleh dan senyum ramah itu terlukis di wajahnya. “Alhamdulillah”, batinku. Kami terlibat dalam perbincangan kecil yang menjadikanku kepikiran sampai saat ini.
“Mba, kuliah ?” tanyanya.
 “Iya bu”  jawaban singkat, bukan karena sombong atau kenapa.
“Kuliah bukan alasan untuk tidak menikah”.
Tiba-tiba aja dia bilang gitu, maksudnya apa, aku juga nggak tau.
“Mba, banyak lho dari mereka, kaum ibu-ibu yang menyuruhku untuk mencarikan pasangan untuk anaknya. Jadi nggak ada salahnya kalau sambil kuliah sembari mencari pasangan.”
“Maksud ibu ?”
. “Yea…begitu, anda lebih tau. Intinya jangan lalaikan masa depanmu. Masa dimana akan ada peran baru, kehidupan baru juga cerita baru. Waktu lah yang akan mendewasakanmu. Kau tak perlu meniru mereka, yang bergaul tanpa batas. Aku percaya kamu punya konsep sendiri tentang itu.”
Bus berhenti, dan dia berinjak dari duduknya sembari lemparkan kembali senyum itu. Dia seakan mendoktrinku dengan pemikirannya. Ah, bukankah mahasiswa itu harus kritis?
Sesampainya di kos, rebahan sambil menghelai nafas panjang, mengusir lelah. Teringat Amie, Arya, Anto, Ali, Aha, Dian, Ela, Uha juga Zhe, teman-teman yang menjadi bagian hidupku. Merekalah yang memaksaku berkenalan dengan istilah VMJ (Virus Merah Jambu). Sama sekali nggak tertarik dengan istilah itu. Sedikit pun nggak ada simpati untuk menanggapinya. Biarkan saja mereka berkata “cuek” sekali pun. Toh itu hak mereka.
Teringat yang diucapkan ibu paruh baya itu. Apa aku salah ? Bersikap tak adil, ketika mereka menyatakan keinginan untuk menjalin hubungan yang demikian. Apa aku terlalu egois dengan prinsip, “Tidak akan menjalin hubungan dengan mereka (kaum adam) sebelum cita-citaku tergapai.”
Perjalanan hidup seseorang memang sulit di prediksi. Seperti kak Imam, dengan usianya yang berkepala tiga mendapatkan mba Siti yang tak lain kakak dari teman adeknya. Iwan mantan presiden mahasiswa di kampus yang belum lama ini menikah dengan Andin, sekretarisnya. Mas Andi dengan mba Prima, yang dulunya selalu ribut seperti si Tom and Jerry. Miss Arin yang bergelar professor, menikah di usia yang ke-35 dengan sopir pribadinya. Bahkan sahabatku Mira, dijodohkan pun sekarang punya anak.
“Fa…Siyfa….!!!”
Ka Roh membuyarkan lamunanku.
“Lagi ngapain ukh ? Eh, tadi ada yang nanyain kamu lho..”
“Siapa ?”
“Siapa lagi kalau bukan..Kabid  mu…”
Yea, di kegiatan ekstra kampus kebetulan aku jadi Sek.bidnya.
“Nanya apa ? Paling rapat lagi “
“Rapat … rapat intern…Cuma berdua ya ? ehm…ehm….”
“Apaan sih…”
Sambil lempar bantal yang sedari tadi nyaman mengganjal kepala ke arahnya.
“Biasa aja kali…”
“Oh ya Fa, ada nggak sih konsep pacaran dalam islam ?”
“Tertarik apa ?”
“Ada nggak ?!”
Bener tuh...PACARAN yuh !!!”
“Serius loe...”
“PACARAN,,, itu....
P : Pelajari
A : Al Qur’an
C : Cinta
A : Allah
R : Rasulullah
A : Amar ma’ruf
N : Nahi munkar
Ehm…gitu say, dalam islam itu adanya nikah. So, kalau udah yakin mending nikah za. Mana ada konsep gituan. Intinya nggak ada pacaran islami, adanya pacaran syetani kaliee…”
“Gila loe...”
Nggak bisa dipungkiri jika memang ada rasa untuk memiliki sesuatu, tak terkecuali menyangkut masalah rasa. Perasaan yang kadang menjerumuskan. Intensitas pertemuan juga aktifitas yang sering melibatkan kita dalam kegiatan organisasi  kadang memaksa kita berikhtilath (bercampur antara laki-laki dan perempuan) pun sulit dihindari.
Banyaknya teman, baik dari SD sampai perguruan tinggi, baik di organisasi, rekan niaga, bisnis, sampai di dunia maya, punya kesempatan yang sama dalam hal itu. Yang pasti tetap waspada. Bagi akhwat, kaum hawa, harus tahu. Jika mereka buaya, kita adalah pawangnya. Aku juga punya prinsip baru sekarang, Syifa… artinya obat. Aku bukan syifa-syifa yang biasa, aku adalah obat, penawar yang beda. Aku penawar jiwa yang beriman, bertaqwa dan setia pada Tuhan nya.

0 komentar:

Posting Komentar